REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro mengatakan, Indonesia perlu mendekatkan kawasan industri ke sumber-sumber energi terbarukan. Ia mengaku, untuk mewujudkan hal itu diperlukan koordinasi antarkementerian dan lembaga untuk menghasilkan kebijakan yang komprehensif dan holistik.
"Harus ada koordinasi yang lebih intensif antara kementerian yang berurusan dengan sektor industri dan sektor energi dalam membangun industri berbasis energi terbarukan, sehingga pengembangan kawasan industri dapat lebih diarahkan ke lokasi dengan potensi energi terbarukan yang besar," kata Bambang dalam sambutannya di Forum Diskusi Kadin di Bonn, Jerman melalui siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (16/11).
Menurut Bambang, saat ini perkembangan energi terbarukan menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya, ujarnya, tercermin dari lambatnya pertumbuhan kontribusi energi terbarukan terhadap pasokan energi nasional, dari enam persen pada 2014 menjadi hanya tujuh persen pada 2016. Padahal, Kebijakan Energi Nasional (KEN) menetapkan target ambisius untuk porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025 dan meningkat menjadi 31 persen pada 2050.
Pengembangan energi terbarukan dinilai semakin penting mengingat seluruh dunia sudah berkomitmen pada 2015 untuk mengurangi emisi karbon, menerapkan ekonomi hijau, dan mengurangi kemiskinan yang berujung pada pembangunan berkelanjutan. Energi juga berperan sebagai faktor esensial dalam pembangunan berkelanjutan dan mengatasi kemiskinan. "Dalam Sustainable Development Goals (SDGs), yang secara khusus memasukkan energi dan tujuannya, meminta seluruh negara untuk memastikan akses energi yang terjangkau, andal, modern dan berkelanjutan bagi semua," kata Bambang.
Pengembangan energi terbarukan juga penting karena produksi minyak dan gas terus menyusut selama sepuluh tahun terakhir dan Indonesia menjadi negara importir. Pada 2021 hingga 2022, Indonesia akan menjadi negara net importir gas seiring peningkatan permintaan konsumsi gas domestik. Menteri Bambang menambahkan, permasalahan pembiayaan menjadi tantangan dalam mencapai transformasi produksi dan penggunaan energi nasional.
Ia menjelaskan Program Sektor Lingkungan, Program Pertumbuhan Hijau, dan Millennium Challenge Account adalah beberapa kegiatan pendukung pembiayaan yang dapat membantu pengembangan energi terbarukan. Faktanya, banyak negara donor tertarik untuk membantu Indonesia mengembangkan kapasitas energi terbarukan. "Oleh karena itu, kita perlu mempercepat pemanfaatan dana hibah internasional itu dengan terus memperkuat manajemen kelembagaannya," ujarnya.
Tantangan lainnya, kata Bambang, adalah mengembangkan teknologi energi terbarukan di Indonesia. Menurutnya, tanpa dukungan teknologi yang baru, bersih, dan efisien, Indonesia akan tetap bergantung pada teknologi dan peralatan impor. Dukungan teknologi yang aplikatif dan efisien sangat diperlukan untuk pengembangan energi terbarukan. Usaha ke depan perlu difokuskan pada penelitian dan pengembangan sumber energi terbarukan yang banyak tersedia di Indonesia dan teknologi yang mudah dioperasikan, bahkan di daerah terpencil dengan menggunakan peralatan sederhana.
"Dengan upaya saat ini, kita tidak dapat menutup celah akses energi dan jika kita tidak membuat kemajuan seperti itu, maka dapat membahayakan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan lainnya. Oleh karena itu, penting bahwa akses terhadap energi berkelanjutan disampaikan lebih awal untuk mendukung pencapaian SDGs lainnya pada 2030," katanya.
Menurut Bambang, energi terbarukan dan efisiensi energi tidak lagi merupakan sektor yang hanya dipromosikan oleh pemerintah. Meningkatnya tingkat investasi global dan fakta sebagian besar modal berasal dari pelaku keuangan konvensional menunjukkan bahwa pilihan energi berkelanjutan sekarang menjadi pilihan utama.