Ahad 12 Nov 2017 23:15 WIB

‘Dikerjasamakan dengan Asing Bukan Berarti Dijual’

Rhenald Kasali
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Rhenald Kasali

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Ekonomi Rheinald Kasali mengatakan sejumlah proyek yang tengah dalam proses dikerjasamakan dengan pihak asing bukan berarti dijual. Rheinald menilai pelibatan pihak asing baik swasta maupun pemerintah langsung dalam proyek pembangunan sejumlah bandara dan pelabuhan di tanah air bukan berarti menjual bandara atau pelabuhan ke pihak asing.

Dia menjelaskan banyak alasan positif yang melatarbelakanginya, antara lain ini merupakan sinergi pemerintah dan swasta karena kerja sama yang dimaksud bukan hanya dengan asing tapi juga swasta nasional. "Dalam sebuah kerja sama bisnis, ini merupakan hal yang sangat biasa. Sederhana saja, asing bawa modal, SDM, dan teknologi yang nantinya akan terjadi transfer teknologi dan kemampuan yang manfaatnya besar sekali bagi kita," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Ahad (12/11). 

Dia menambahkan saat ini banyak proyek bandara dan pelabuhan yang dilihat dari kacamata bisnis sangat kompetitif untuk investasi, misalnya, bandara Soekarno-Hatta yang pertumbuhannya terus melesat. Kini, banyak kedatangan pihak swasta asing yang menawarkan kerja sama karena mereka tertarik dengan sejumlah peluang bisnis di Soekarno-Hatta.

"Kan Soekarno-Hatta akan diperluas, swasta banyak yang tertarik. Itu baru Soekarno-Hatta, belum Kuala Namu yang memiliki koneksi ke kawasan KEK Sei Semangke, jalur tol baru Medan-Tebingtinggi, dan Pelabuhan Kuala Tanjung. Ini baru di lingkup AP 2, belum di BUMN-BUMN lain," kata dia.

Menanggapi hal itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi membenarkan Kementerian Perhubungan telah dan berencana untuk mengajak dan melibatkan pihak swasta nasional maupun asing dan BUMN dalam pengelolaan sejumlah infrastruktur transportasi.

"Namun kurang tepat bila pelibatan swasta ini dianggap sebagai penjualan aset ke swasta atau asing, karena dalam hal ini pemerintah tidak menjual atau melimpahkan melainkan mengajak kerja sama dengan tujuan untuk peningkatan pelayanan, daya saing ekonomi dan partisipasi modal," kata Budi.

Menurut dia, kerja sama pengelolaan ini menggunakan skema pemanfaatan barang milik negara (aset) dan kerja sama operasional dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian, tidak ada penjualan aset atau pengalihan aset negara dalam kerja sama tersebut. Dalam hal ini, semua aset tetap dikuasai negara.

Untuk skema kerja sama infrastruktur dengan swasta asing dari perspektif aturan perundangan yang berlaku di Indonesia diperbolehkan sepanjang usaha patungan (joint venture) dengan perusahaan nasional dengan komposisi saham maksimal 51 persen:49 persen. Yakni, untuk perusahaan nasional minimal 51 perswn dan asing maksimal 49 persen dengan cakuoan kerja sama penyediaan infrastruktur pembangunan, pengembangan dan pengoperasian oleh perusahaan patungan.

"Hal lainnya yang harus digarisbawahi yang paling utama adalah pada akhir masa perjanjian atau konsesi aset menjadi milik pemeritah Indonesia," ujar Budi.

Hal itu tercantum dalam aturan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 78 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN). Aturan ini juga menegaskan bahwa pelabuhan atau bandara yang dikelola tidak dapat dijaminkan atau digadaikan dan sarana prasarana yang dikelola swasta nantinya mutlak menjadi milik negara pada saat perjanjian kerja sama berakhir.

Tujuan dari kerja sama ini, kata Budi, untuk mengembangkan dan meningkatkan fasilitas yang ada baik di pelabuhan, bandara, bahkan kereta api. Dengan demikian, kemampuan dan kapasitas di masing-masing moda transportasi itu dapat meningkat sehingga dapat memberi dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat maupun nasional.

Tujuan lainnya, lanjut dia, adalah keinginan pemerintah agar satu sisi pelayanan transportasi ke masyarakat meningkat, namun di sisi lain pemerintah dapat menghemat anggaran dan mengalokasikannya (APBN) pada sektor lain yang sangat dibutuhkan untuk menggerakkan perekonomian.

Dari sektor transportasi, dia berharap paling tidak APBN yang bisa dihemat kurang lebih Rp 500 miliar sampai dengan Rp 1 triliun dari sekitar 30 pelabuhan dan bandara. "Saya meyakini bahwa pelabuhan dan bandara yang dikerjasamakan pengelolaannya akan dapat mendatangkan keuntungan bagi pihak pengelola maupun negara karena nantinya pengelola masih memiliki keharusan menyetorkan kewajibannya ke negara sebagai pendapatan negara," katanya.

Budi menambahkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 78 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN), dengan adanya kerja sama pengelolaan ini maka nantinya perusahaan swasta wajib berkontribusi ke negara berupa kontribusi tetap per tahun sebesar 0,50 persen dari nilai wajar BMN dan ada pembagian keuntungan Kerjasama Pemanfaatan (KSP) sebesar 15,16 persen dari penjualan per tahun.

Selain menghemat dari segi operasional, belanja negara untuk biaya pegawai akan berkurang sehingga APBN dapat digunakan untuk pengembangan bandara dan pelabuhan di daerah daerah terpencil, perbatasan dan rawan bencana.

"Jadi sekali lagi kami tegaskan tidak ada penjualan aset atau pengalihan aset negara. Semua aset tetap dikuasai negara. Ini adalah sebuah bentuk kerja sama pengelolaan menggunakan skema pemanfaatan barang milik negara (aset) dan kerja sama operasional dalam jangka waktu tertentu," katanya.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement