Jumat 03 Nov 2017 13:32 WIB

Investasi Energi Sampah di Bali Terkendala Pemerintah Pusat

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Esthi Maharani
Tumpukan sampah
Tumpukan sampah

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pemerintah Provinsi Bali merencanakan sejumlah proyek infrastruktur energi terbarukan, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTS). Banyak investor asing mengajukan ketertarikan, namun selalu terkendala aturan pemerintah pusat.

"Output listrik yang dihasilkan dari PLTS cuma bisa dibeli PLN dengan harga sangat murah, sehingga investor mundur. Pemerintah pusat juga membuat kebijakan berubah-ubah," kata Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Provinsi Bali, Anak Agung Ngurah Alit Wiraputra kepada Republika, Jumat (3/11).

Alit Wiraputra mengatakan pemerintah pusat harus membuka peluang asing masuk lebih leluasa berinvestasi energi terbarukan di Bali. PLN dan anak usahanya Indonesia Power dinilai tidak mampu karena kerap mengalami kerugian dalam laporan keuangannya.

Alit Wiraputra menyebutkan tiga faktor penting yang perlu diperhatikan pemerintah pusat dalam investasi energi terbarukan berbahan baku sampah di Bali. Pertama, hasil listrik dari PLTS nantinya harus dibeli dengan harga wajar, berkisar 18,75-22 sen dolar per kilo watt jam (kWh).

Kedua, pemerintah pusat membuat regulasi tipping fee yang berlaku umum. Tipping fee adalah biaya yang dikeluarkan dari anggaran pemerintah kepada pengelola sampah, berdasarkan jumlah yang dikelola per ton atau satuan volume (m3) sampah.

"Pemerintah pusat harus membuat regulasi secara umum, tidak membeda-bedakan. Jika tipping fee di Jakarta bisa Rp 300 ribu per ton, masa daerah lain cuma Rp 100 ribu per ton?" kata Alit Wiraputra.

Ketiga, lahan khusus untuk mendirikan pabrik pengelolaan sampah. Bali membutuhkan 10-15 hektare (ha) lahan untuk pabrik untuk pengolahan seribu ton sampah per hari. Pemerintah daerah dalam hal ini bisa memfasilitasi. Alit Wiraputra mengatakan investor Cina termasuk paling serius hendak menggarap PLTS di Bali. Kadin Bali sudah menyampaikan hal tersebut kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan yang membawahi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Saya sudah berusaha menjelaskan semua ke Pak Luhut, tapi beliau tidak mengerti juga," kata Alit Wiraputra.

Kebutuhan energi listrik di Bali terbilang tinggi, mencapai 735 megawatt (MW) pada saat beban puncak. Ini untuk mengimbangi jumlah penduduk yang mencapai 4,2 juta jiwa ditambah jumlah wisatawan mancanegara yang setiap tahunnya berkunjung sebanyak lima juta orang. Sebagian energi listrik yang belum terbarukan tersebut berasal dari Bali, namun sebagian besar masih dipasok dari luar Bali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement