Senin 30 Oct 2017 08:10 WIB

Asosiasi Driver Online akan Layangkan Gugatan Permenhub

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Elba Damhuri
[ilustrasi] Seorang sopir angkutan umum mengibarkan bendera Merah Putih saat aksi unjuk rasa menolak transportasi berbasis daring atau
Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
[ilustrasi] Seorang sopir angkutan umum mengibarkan bendera Merah Putih saat aksi unjuk rasa menolak transportasi berbasis daring atau

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Driver Online (ADO) masih menilai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek memiliki sejumlah hal yang memberatkan pengemudi taksi daring (online). Oleh karena itu, ADO berencana menggugat peraturan yang lahir dari revisi Permenhub Nomor 26/2017 tersebut ke Mahkamah Agung.

"Besar kemungkinan hal ini (mengajukan gugatan) akan kami lakukan," kata Ketua Umum ADO Christiansen FW kepada Republika di Jakarta, Ahad (29/10).

Namun, menurut dia, gugatan baru akan dilayangkan setelah kajian mendetail terhadap Permenhub Nomor 108/2017 dilaksanakan. ADO bersama tim kuasa hukum kini sedang mengkaji kekuatan hukum dari pasal-pasal yang ditolak.

Christiansen menjelaskan, salah satu poin dalam Permenhub Nomor 108/2017 yang dipertanyakan adalah penggunaan stiker berdiameter 15 cm di kaca mobil bagian depan dan belakang. Hal itu, kata dia, tidak sesuai karena mobil yang untuk taksi daring juga digunakan untuk kepentingan pribadi.

Begitu juga dengan aturan pemberian kode khusus pada pelat nomor. "Padahal, pengemudi taksi daring masih membayar sendiri pajaknya karena masih termasuk barang mewah milik pribadi," ujar Christiansen.

Tak hanya dua poin tersebut, Christiansen menegaskan, belum ada kejelasan mengenai sanksi yang diserahkan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Akan tetapi, sampai saat ini tidak ada regulasi tertulis mengenai hal tersebut.

Untuk itu, jika poin-poin tersebut belum juga dipertimbangkan Kemenhub, ADO akan melakukan gugatan ke MA. Christiansen mengatakan akan melakukan mediasi terlebih dahulu dengan Kemenhub terkait butir-butir penolakan tersebut. Selain itu, ADO juga akan mempertanyakan pengawasan terhadap Permenhub Nomor 108 setelah berlaku efektif pada 1 November 2017.

Anggota DPR Komisi V DPR dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Nizar Zahro, mengaku khawatir jika masih ada pihak yang menggugat peraturan terbaru terkait taksi daring. Sebab, menurut Nizar, Permenhub Nomor 108/2017 tidak berbeda jauh dengan peraturan sebelumnya, yaitu Permenhub Nomor 26/2017.

Pada 20 Juni 2017, MA mengabulkan gugatan sejumlah pengemudi taksi berbasis aplikasi daring dengan mencabut 18 pasal dalam peraturan itu. Sebab, sejumlah pasal dinilai bertentangan dengan UU.

Nizar menilai akar dari semua persoalan itu adalah pemerintah yang tidak mengubah aturan tertinggi mengenai angkutan umum. "Saya sudah sejak lama menyarankan, semestinya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diubah. Secara hierarki ini belum sesuai, makanya akan ada gugatan lagi," ungkap Nizar.

Nizar menilai keberadaan Permenhub Nomor 108/2017 tidak cukup untuk mengatur taksi daring dan taksi konvensional. UU Nomor 22/2009, menurut dia, sama sekali belum mengayomi transportasi daring dan konvensional, bahkan juga ojek daring yang saat ini sudah menjadi solusi bagi masyarakat luas.

Nizar juga menyarankan, taksi daring perlu diharuskan menambatkan izin dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab, pembayaran taksi daring juga bisa menggunakan uang elektronik yang tersedia pada layanan aplikasi. Namun, hal tersebut nyatanya tidak masuk dalam Permenhub Nomor 108/2017.

Untuk kesetaraan

Penerbitan Permenhub Nomor 108/2017 diklaim Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi untuk mewujudkan kesetaraan antara taksi konvensional dan taksi daring. Budi menjelaskan, kesetaraan merupakan filosofi dari penerbitan beleid hasil revisi Permenhub Nomor 26/2017 tersebut.

"Poin-poin dari Permenhub Nomor 26 itu isinya sama," ujarnya di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (27/10).

Menurut Budi, kesetaran diperlukan karena taksi konvensional maupun taksi daring sama-sama dibutuhkan masyarakat. Taksi konvensional merupakan kegiatan yang telah lama mewarnai kehidupan bermasyarakat. Sedangkan, kehadiran taksi daring merupakan sebuah keniscayaan.

"Oleh karena, itu pemerintah hadir memberikan payung sekaligus memberikan kesetaraan, baik bagi konvensional ataupun online," kata Budi.

Lebih lanjut Budi menyatakan, Permenhub Nomor 108/2017 lahir atas kesepakatan semua pihak, termasuk Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat dan tiga perusahaan taksi daring, yaitu Grab Indonesia, Uber Indonesia, dan Gojek.

Sejumlah UU, antara lain UU 20/2008 tentang UMKM dan UU 22/2009 tentang LLAJ, juga menjadi pertimbangan. Mantan direktur PT Angkasa Pura II (Persero) ini pun berharap kesepakatan tidak dilanggar demi kebaikan bersama ke depan.

(Editor: Muhammad Iqbal).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement