Kamis 26 Oct 2017 16:12 WIB

Mantan AMT tak Bisa Menuntut Pertamina Patra Niaga

Rep: Umar Mukhtar / Red: Gita Amanda
Ratusan awak tanki Pertamina berpenampilan seperti zombie menggelar aksi menuntut pembatalan PHK di depan Gedung Sate, Kota Bandung, sebelum melakukan longmarch ke Jakarta, Jumat (13/10).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Ratusan awak tanki Pertamina berpenampilan seperti zombie menggelar aksi menuntut pembatalan PHK di depan Gedung Sate, Kota Bandung, sebelum melakukan longmarch ke Jakarta, Jumat (13/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para mantan awak mobil tangki (AMT) tidak bisa menuntut Pertamina Patra Niaga (PPN). Sebab mereka bukan mantan karyawan PPN, tetapi mantan karyawan vendor PPN.

"Ini adalah bentuk kesalahan persepsi. Para driver menganggap mereka karyawan PPN, padahal bukan," kata Direktur Center for Energy Policy Kholid Syerazi di Jakarta, kemarin.

Menurut Kholid, tuntutan mantan AMT yang ingin diangkat sebagai karyawan tetap PPN dan menunjuk PPN sebagai pihak yang bertanggung jawab adalah bentuk kesalahpahaman. Pasalnya, tidak mungkin PPN melaksanakan semua pekerjaan teknis. "Jadi, yang dilakukan memang mekanisme vendor. Driver adalah urusan vendor," ujar Kholid melalui siaran persnya.

Kholid menambahkan, mekanisme vendor yang dilakukan PPN dalam penyediaan AMT merupakan cara wajar. Hal itu bisa dipahami sebagai upaya memberi kesempatan pada perusahaan lain untuk berpartner dan berkembang bersama PPN.

Dalam kaitan itulah, menurut Kholid, jika Presiden Joko Widodo menindaklanjuti tuntutan mantan AMT, maka Presiden bisa mengarahkan kepada pemangku kepentingan, baik Kementerian Tenaga Kerja atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk hal ini, ujar Kholid, baik Kemenaker maupun DPR harus memediasi antara mantan AMT dan vendor.

"Ini yang harus dikejar dan dimediasi Kementerian Ketenagakerjaan. Pemerintah harus memastikan vendor-vendor tersebut memberikan hak yang layak kepada driver, sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB)," katanya.

Begitu pula dengan DPR. Menurut Kholid, DPR juga bisa memanggil vendor dan memediasi dengan mantan AMT. Dengan demikian, persoalan ini akan terbuka kepada publik, termasuk mengenai pertanggungjawaban yang seharusnya dilakukan vendor.

Wakil Ketua Komisi VI DPR Bowo Sidik, juga senada. Menurutnya, karena mantan AMT bekerja pada vendor, maka tidak ada kewajiban PPN untuk menanggung hak-hak karyawan tersebut. "Kita harus berbicara dasar hukum. Mereka tidak bisa menuntut kepada PPN karena tidak ada dasar hukum. Karena memang tidak ada kontraktual dengan PPN," ujar Bowo.

Terkait itulah, Bowo menyarankan, agar para mantan AMT jangan mau diprovokasi. Akan lebih baik, jika mantan AMT berpikir realistis karena secara hukum pun, tidak mungkin tidak mungkin PPN memenuhi tuntutan mereka.

"Jadi sebaiknya saudara-saudasra yang berdemo ini, berpikir secara realistis. Kalau menuntut kepada PPN, apakah punya kontrak dengan PPN atau tidak? Karena kalau tidak punya kontrak, sampai kapanpun tidak bisa," ujar Bowo.

Dalam konteks kontraktual itu pula, menurut Bowo, yang bisa dilakukan mantan AMT justru menuntut kepada vendor yang mempekerjakan mereka. Jika mantan AMT tersebut merasa diperlakukan tidak adil dan mereka memiliki kontrak dengan vendor, mereka bisa menempuh jalur hukum kepada vendor tersebut.

"Ini negara hukum. Kalau mereka merasa diberhentikan secara sewenang-wenang, mereka bisa menuntut melalui pengadilan ketenagakerjaan," kata Bowo.

Aksi unjuk rasa yang dilakukan mantan AMT, pada akhirnya juga dilakukan di depan istana. Dalam unjuk rasa tersebut, mereka melakukan aksi teatrikal sambil menarik truk pengangkut BBM.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement