Sabtu 21 Oct 2017 03:32 WIB
3 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Pengamat: Target Pertumbuhan Ekonomi Terlalu Ambisius

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Budi Raharjo
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peneliti senior Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menilai, penetapan target pertumbuhan ekonomi pemerintah terlalu ambisius. Hal itu pun dinilai dapat menyebabkan sejumlah masalah yang bertolak belakang dengan semangat meningkatkan perekonomian Indonesia.

Faisal menjelaskan, pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. Faktanya, hingga tiga tahun bekerja, target itu belum tercapai.

"Enam persen saja tidak tercapai. Tiga tahun terakhir flat di kisaran 5 persen. Menurut saya, masalahnya adalah target yang terlalu ambisius dan tidak diikuti dengan langkah-langkah signifikan untuk mencapai target itu," kata Faisal ketika dihubungi Republika.

Faisal menilai, pemerintah belum bisa menyesuaikan target tinggi dengan kemampuan untuk mencapainya. Menurut Faisal, dari aspek pemerataan konsep nawacita cukup bagus. Ia menggarisbawahi program terobosan seperti pembangunan infrastruktur dari pinggiran patut mendapat apresiasi. Ia mengaku, Indonesia memang tertinggal cukup jauh dibandingkan negara lain.

Akan tetapi, Faisal mencatat sejumlah masalah berupa penentuan target pencapaian yang terlalu tinggi. Ia mencontohkan, di bidang energi, program percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan sebesar 35 ribu megawatt. "Sebetulnya, secara realistis hal itu hanya bisa dicapai 50 persen sampai 2019," kata dia.

Target tinggi dalam pembangunan infrastruktur dinilai akan menyebabkan masalah karena butuh pendanaan besar. Seluruh sumber dana pemerintah termasuk dari APBN pun diarahkan untuk pembangunan tersebut. "Masalahnya kewajiban pemerintah dalam jangka pendek seperti peningkatan kesejahteraan dan menjaga daya beli masyarakat jadi terabaikan," katanya.

Untuk mencapai keseimbangan, kata Faisal pemerintah pun menggenjot penerimaan dari sisi perpajakan. Sayangnya, hal ini bersamaan dengan perlambatan ekonomi global yang turut berpengaruh ke domestik.

"Jadi untuk menggali pajak akan menjadi lebih sukar," kata Faisal.

Dalam kondisi ekonomi melambat, kata Faisal, biasanya negara lain akan melonggarkan pajak. Ketika kondisi ekonomi sudah membaik, baru pemerintah bisa menaikkan pajak sedikit demi sedikit. Pada saat bersamaan pemerintah berusaha mengejar penerimaan untuk membiayai infrastruktur.

Ini menjadi masalah karena penerimaan dipaksakan. "Kita melakukan amnesti pajak, penurunan PTKP. Sangat ekstensif dan sangat intensif. Ini kemudian memberikan dampak buruk pada ekonomi secara lebih luas," kata Faisal.

Ia mengaku, kebijakan itu berdampak pada penurunan daya beli masyarakat kelas menengah bawah. Meski daya beli masyarakat menengah ke atas meningkat, mereka tetap berupaya menahan konsumsi. Ini karena pemerintah melakukan pendekatan agresif dari sisi perpajakan.

Sementara itu, Faisal mencatat rapor terburuk kinerja di bidang ekonomi pemerintahan Jokowi adalah dalam pertumbuhan manufaktur. Ia mengaku, deindustrialisasi terus terjadi dalam 13 tahun terakhir.

"Iklim industri manufaktur di dalam negeri sangat tidak kondusif," kata Faisal.

Faisal mengaku, pemerintah belum mamou memberikan terobosan yang bagus di sektor manufaktur. "Ini berbahaya karena kunci untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sustainable adalah dengan mempercepat manufaktur," kata Faisal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement