Selasa 03 Oct 2017 10:51 WIB
Wawancara Said Didu, Staf Khusus Menteri ESDM 2014-2016

Perundingan Pemerintah-Freeport Belum Selesai

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Elba Damhuri
Kota Tembagapura yang indah dan dingin tempat para pekerja tambang PT Freeport Indonesia tinggal. Segala fasilitas tersedia di kota kecil ini.
Foto: Maspril Aries/Republika
Kota Tembagapura yang indah dan dingin tempat para pekerja tambang PT Freeport Indonesia tinggal. Segala fasilitas tersedia di kota kecil ini.

REPUBLIKA.CO.ID, Perjanjian divestasi antara Pemerintah RI dan PT Freeport rupanya belum selesai 100 persen. Surat Freeport yang ditujukan kepada pemerintah menunjukkan bahwa perusahaan tambang asal Amerika ini masih keberatan dengan skema divestasi 51 persen.

Republika mewawancarai mantan staf khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2014-2016, Said Didu, menbahas persoalan yang memiliki implikasi politik dan ekonomi yang luas ini. Said setuju dengan skema saham 51 persen untuk pemerintah, namun meminta tim negosiasi untuk berunding dengan pendekatan bisnis. Bukan pendekatan politis yang hanya memberikan angin surga bagi rakyat.

Berikut wawancara Republika dengan Said Didu, Senin (2/10).

Bagaimana tanggapan Anda terkait surat dari Freeport McMoRan kepada Kementerian Keuangan perihal penolakan skema divestasi 51 persen saham perusahaan tersebut?

Saya sih yang paham betul bahwa apa yang dikemukakan. Pertama, itu kok kayaknya belum beres. Tetapi, itu dalam rangka pemahaman divestasi 51 persen. Tetapi, persoalan kapan, harga berapa, dan mekanisme seperti apa belum selesai.

(Dalam) surat itu, Freeport meminta penjelasan bagaimana perinciannnya karena belum diperinci saat perundingan. Pemerintah realistis saja mengemukakan, jangan sampai rakyat memahami beratnya posisi pemerintah. Seperti ini kan Freeport bikin pemerintah menjilat ludah sendiri sebab belum selesai secara detail sudah dibilang selesai. Jadi, saya menganggap kemarin itu belum selesai karena tiga hal tadi. Itu yang prinsip, sebenarnya.

Lalu, bagaimana sebaiknya langkah pemerintah ke depan?

Pemerintah realistis saja deh. Freeport itu kan tidak bisa berhenti. Kalau mereka berhenti (beroperasi) maka gejolak di Papua akan besar. Jadi, itu dulu saja tujuan pemerintah. Kalau berunding, harus yang masuk akal. Masuk akal bagi dua-duanya. Tidak bisa perundingan ini memakai pemaksaan kehendak karena persoalan ini sangat kompleks, bukan persoalan sederhana.

Realistis ini seperti apa?

Realistis itu ginilah. Base line dari Freeport kan kepastian investasi. Kedua, kepastian investasi jangka panjang. Nah, kepastian dalam mendapatkan margin yang layak secara bisnis. Bagi pemerintah adalah pemerintah mendapatkan pendapat yang layak. Itu baseline-nya juga menjadi regulator full. Nah, ini jangan dipakai ke isu politik.

Isu politik, maksudnya?

Seakan-akan pemerintah mau ada power (kekuatan), pencitraan. Saya pikir pemerintah tidak perlu merasa bersalah. Ini persoalan masa lalu. Ini akumulasi kesalahan.

Apa yang perlu pemerintah lakukan dari sisi perpajakan?

Kalau persoalan pajak, saya enggak pusinglah. Itu, buat Bu Ani (Menteri Keuangan Sri Mulyani) mudah. Misalkan Freeport minta prevailing (membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku), itu mudahlah, pasti bisa. Persoalannya kan penjualan saham. Divestasinya saja ini yang ribet.

Realistikah divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia ini?

Bagi saya, realistis itu. Siapa pun yang mau investasi, dia harus pengendali dong. Kalau pemerintah mau jadi pengendali, ya pemerintah harus investasi dong. Saya cuma mau bilang, dekati Freeport dengan pendekatan bisnis murni. Bisnis murni ini agar bisa jalan sehingga pemerintah mendapatkan nilai tambah yang optimum. Pendekatan harus pendekatan bisnis yang bisa diterima Freeport, tetapi pemerintah bisa mendapatkan added value (nilai tambah).

 

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement