Sabtu 16 Sep 2017 19:51 WIB

YLKI Kritik Biaya Top Up Uang Elektronik

 Pekerja menggunakan kartu uang elektronik (e-money) melakukan transaksi pembelian di salah satu bank di Jakarta, Senin (21/11).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pekerja menggunakan kartu uang elektronik (e-money) melakukan transaksi pembelian di salah satu bank di Jakarta, Senin (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritisi kebijakan Bank Indonesia (BI) mengenai peraturan anggota dewan gubernur terkait pemungutan biaya isi saldo (top-up) uang elektronik. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan aturan BI tersebut kontraproduktif dengan tujuan penciptaan kondisi cashless society.

Ia menilai upaya mewujudkan transaksi nontunai adalah sebuah keniscayaan demi efisiensi pelayanan dan keamanan dalam bertransaksi. "Kondisi cashless society sejalan dengan fenomena ekonomi digital. Namun, menjadi kontra produktif jika BI justru mengeluarkan peraturan bahwa konsumen dikenakan biaya isi ulang pada setiap uang elektroniknya," kata Tulus melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (16/9). 

Ia juga mengatakan sektor perbankan akan lebih diuntungkan dengan adanya 'cashless society' daripada konsumen. Perbankan menerima uang di muka, sementara transaksi atau pembelian belum dilakukan konsumen.

"Sungguh tidak adil dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya 'top-up'. Justru dengan model uang elektronik itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif," ucap Tulus.

Ia menilai pengenaan biaya isi ulang hanya bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan bank yang berbeda dengan uang elektronik yang digunakan. "YLKI mendesak Bank Indonesia untuk membatalkan peraturan tersebut," kata Tulus.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo memastikan peraturan anggota dewan gubernur yang mengatur perbankan jika ingin memungut biaya isi saldo uang elektronik kepada konsumen akan terbit akhir September 2017. "Kami akan atur batas maksimumnya, dan besarannya beayanya tidak akan berlebihan membebani konsumen," kata Agus di Kantor Perwakilan BI Banten di Serang, Jumat (15/9).

Terkait besaran maksimum biaya isi saldo, Agus mengatakan hal tersebut masih dalam finalisasi sehingga dia enggan membeberkannya. Mantan Menteri Keuangan tersebut juga menjelaskan langkah BI tersebut mempertimbangkan kebutuhan perbankan untuk biaya investasi dalam membangun infrastruktur penyediaan uang elektronik, layanan teknologi, dan juga pemeliharaannya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement