Rabu 13 Sep 2017 13:32 WIB

Kekeringan Ancam Produktivitas Petani

Rep: Kabul Astuti/ Red: Winda Destiana Putri
Kekeringan
Foto: Antara
Kekeringan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IV dari Fraksi Demokrat Herman Khaeron mengkhawatirkan dampak kekeringan akan mengancam produktivitas petani. Pemerintah perlu mempercepat pembangunan bendungan dan embung di tiap desa.

"Kekhawatiran kekeringan ini sejalan dengan musim lalu yang hujannya banyak. Hampir setahun musim basah. Dikhawatirkan ini sudah mulai keringnya agak panjang," kata Herman, kepada Republika, Rabu (13/9).

Herman mengkhawatirkan, kekeringan ini dapat menyebabkan turunnya produktivitas petani. Meskipun, ia mengatakan pemerintah sudah melakukan antisipasi awal dengan memanfaatkan sumber-sumber air yang ada. Hampir 20 ribu pompa air sudah dibagikan pada tahun ini. Tahun sebelumnya juga ada pembagian pompa dalam jumlah hampir sama.

Pembagian pompa ini diharapkan bisa mengisi kekurangan air di daerah-daerah produksi. Selama di lokasi itu masih ada sumber air, Herman meminta agar pemerintah segera mendistribusikan pompa air supaya paling tidak menyelamatkan masa tanam atau tidak terjadi gagal panen akibat kekeringan.

Herman menambahkan, pemerintahan Jokowi menargetkan pembangunan seribu embung hingga 2019. Pembangunan embung dilakukan berbasis desa. Pemerintah juga memanfaatkan tanah-tanah desa atau tanah bengkok untuk embung.

Dalam perencanaan anggaran tahun, ia menyatakan akan mendorong lebih banyak embung lagi di daerah-daerah rawan kekeringan untuk antisipasi musim kering yang terlalu lama. "Ini menjadi perhatian kami dengan Kementerian Pertanian untuk menyiapkan embung lebih banyak lagi pada daerah-daerah endemik kekeringan," kata Herman.

Herman mengatakan Komisi IV DPR juga sudah membicarakan di anggaran tambahan 2017 kemarin agar dibuatkan sumur-sumur artesis atau sumur air dalam di daerah-daerah tertentu. Hal itu seperti yang dilakukan di India. "Pilot projectnya sudah dilakukan di daerah-daerah yang sumber airnya agak sulit, kita mencoba dengan pemerintah untuk memulai pemanfaatan sumber air dalam," kata dia.

Menurut Herman, pemerintah telah menargetkan pembangunan dan perluasan beberapa bendungan selama masa pemerintahan Joko Widodo ini. Meski, 60 persen bendungan masih bersifat tadah hujan. Target pembangunan bendungan selama 2015-2019 sebanyak 65 bendungan. Dari jumlah itu, tujuh bendungan sudah dirampungkan hingga akhir 2016.

Ketujuh bendungan itu adalah Bendungan Jatigede, Bendungan Bajulmati, Bendungan Nipah, Bendungan Titab, Bendungan Paya Seunara, dan Bendungan Teritib. Sementara itu, pada 2017 ditargetkan tambahan tiga bendungan selesai yaitu Bendungan Raknamo, Bendungan Tanju, dan Bendungan Marangkayu.

Hingga akhir 2019, pemerintah menargetkan pembangunan 29 bendungan selesai, sehingga, menambah tampungan air sebanyak 2 miliar meter kubik. Perluasan bendungan Jatigede di Jawa Barat, Herman mengungkapkan, direncanakan bisa menambah 90 ribu hektare luas area yang diairi.

"Memang kuncinya adalah di bendungan karena embung ini airnya tidak cukup banyak. Volumenya yang diperbanyak. Volume diperbanyak pun nanti juga akan mengurangi ketersediaan lahan pertanian. Fokus terhadap pembangunan bendungan ini tentu harus terus dipercepat," kata Herman.

Dosen Pascasarjana Prodi Studi Ilmu Lingkungan di Universitas Indonesia, yang juga Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan defisit air dan kekeringan telah menjadi isu global. Satu dari empat orang di dunia kekurangan air minum dan satu dari tiga orang tidak mendapat sarana sanitasi yang layak (Bouwer, 2000).

Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sudah mengalami defisit air sejak tahun 1995. Hampir setiap tahun kekeringan berulang, bahkan saat musim kemarau normal seperti tahun 2017 ini.

"Saat ini lebih dari 3,9 juta jiwa masyarakat yang bermukim 2.726 desa di 715 kecamatan dan 105 kabupaten/kota di Jawa dan Nusa Tenggara mengalami kekeringan. Sebagian besar mereka mengalami kekeringan setiap tahunnya," kata Sutopo.

Menjelang 2025, sekitar 2,7 milyar orang atau sekitar sepertiga populasi dunia akan menghadapi kekurangan air dalam tingkat yang parah. Sejak awal sudah diprediksikan, bahwa pada abad 21 air akan menjadi isu besar dunia dan penyebab timbulnya konflik, jika tidak segera diatasi secara menyeluruh.

Secara nasional, ketersediaan air masih mencukupi, bahkan sampai dengan proyeksi tahun 2020 ketersediaan air masih mencukupi untuk pemenuhan seluruh kebutuhan air, seperti untuk kebutuhan rumah tangga, perkotaan, irigasi, industri dan lainnya. Namun secara per pulau, ketersediaan air yang ada sudah tidak mencukupi seluruh kebutuhan khususnya di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Sutopo memprediksi krisis air ini akan makin meningkat di masa mendatang. Bertambahnya jumlah penduduk otomatis kebutuhan air makin meningkat. Ironisnya kerusakan daerah aliran sungai, degradasi lingkungan, makin berkurangnya kawasan resapan air, tingginya tingkat pencemaran air, rendahnya budaya sadar lingkungan, dan masalah lainnya juga menyebabkan pasokan air makin berkurang.

"Daya dukung lahan telah terlampaui sehingga pengelolaan sumber daya air menjadi lebih rumit. Kekeringan adalah resultan dari permasalahan lingkungan di bagian hulu dan hilirnya. Perlu upaya yang terpadu dan berkelanjutan untuk mengatasi hal ini," kata Sutopo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement