REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana aturan pembatasan impor tembakau oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) menuai kritik. Beleid yang rencananya akan diterbitkan pada akhir Agustus 2017 ini tidak didukung oleh data yang valid mengenai jumlah impor tembakau.
Para pelaku industri hasil tembakau mempertanyakan kesiapan Kementerian Perdagangan dalam mengeluarkan aturan ini. Dalam beleid ini, arus impor beberapa varian tembakau, termasuk Virginia dan Oriental, dibatasi.
Padahal, kedua varian ini paling banyak digunakan untuk rokok jenis mild yang paling populer, namun tidak dapat dibudidayakan di dalam negeri. Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) yang beranggotakan sekitar 150 pabrikan kecil mengaku tidak dilibatkan dalam proses pembuatan aturan ini.
"Rencana itu tidak mengakomodir para pemangku kepentingan industri hasil tembakau, nyatanya Formasi tidak disertakan dalam pembahasannya. Dikeluarkannya aturan ini seperti sekedar memenuhi ego sektoral yang sangat kuat, namun tidak mempertimbangkan seluruh mata rantai industri dengan bijaksana dan seksama," kata Sekjen Formasi Suhardjo dalam siaran persnya, Rabu (23/8).
Suhardjo meminta pemerintah berhati-hati dalam menyusun aturan pembatasan impor tembakau. Ia mengatakan, para pabrikan rokok kecil merupakan salah satu pihak yang paling merasakan dampak aturan ini.
Aturan ini berpotensi menyebabkan anggota Formasi kekurangan pasokan tembakau yang belum dapat dibudidayakan di Indonesia.
"Sebagai pabrikan kelas menengah ke bawah, jujur kami membutuhkan bimbingan Pemerintah. Dengan adanya rencana ini tentu kami menjadi sulit," kata Suhardjo.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto bahkan mempertanyakan apakah pemerintah memiliki data yang valid mengenai kebutuhan tiap-tiap jenis tembakau yang diperlukan industri, berapa banyak tembakau yang terserap dan tidak terserap.
Sudarto juga mengingatkan aturan ini berpotensi mengganggu kegiatan produksi pabrikan rokok. Ini mengingat langkanya bahan baku yang berujung pada pemutusan hubungan kerja para buruh pabrikan rokok