Jumat 11 Aug 2017 14:50 WIB

Kementan: Petani Pelaku Utama Pembangunan Pertanian

Buruh tani memanen kangkung di area persawahan Desa Baye, Kediri, Jawa Timur, Senin (7/8).
Foto: ANTARA FOTO
Buruh tani memanen kangkung di area persawahan Desa Baye, Kediri, Jawa Timur, Senin (7/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan Indonesia menjadi lumbung pangan dunia 2045. Untuk mencapai misi tersebut, Kementan tempatkan petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian.

Kementan hadir sebagai fasilitator pembangunan yang berperan untuk memberdayakan dan mendukung petani secara maksimal. “Peran Kementan adalah untuk mendorong partisipasi aktif petani dalam mencapai swasembada pangan seraya meningkatkan kesejahteraan mereka,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Suwandi, dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Jumat (11/8).

Dia menyebut, Kementan menempatkan swasembada pangan dan peningkatan kesejahteraan petani sebagai dua tujuan utama Kementan yang saling berkaitan. Program mencapai swasembada pangan sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan petani.

Untuk mencapai tujuan tersebut,  Kementan menjalankan pendekatan rencana dari bawah ke atas (bottom up) dimulai dari identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi petani di lapangan sebagai bagian penting dalam perumusan kebijakan dan program pembangunan pertanian. Karena itu, kebijakan dan program yang dijalankan Kementan didasarkan pada kondisi lapangan dan dilakukan melalui pendekatan kesisteman.

Dari pendekatan kesisteman tersebut, Kementan secara berturut-turut merevisi regulasi yang menghambat, membangun infrastruktur, mekanisasi pertanian, perbaikan teknis produksi, pendampingan dan penguatan sumber daya manusia (SDM), penanganan pascapanen, serta pengendalian harga. Semuanya itu adalah parameter pengungkit yang mendapat prioritas dalam penyusunan program terobosan  sesuai kebutuhan lapang.

Dalam upaya mendongkrak produktivitas pangan nasional, Kementan mendorong berbagai inovasi di sektor pertanian. Pengembangan inovasi yang dikembangkan oleh Kementan memiliki syarat penting, yaitu memenuhi unsur pemenuhan kebutuhan petani sebagai pengguna inovasi dan pelaku utama pertanian secara spesifik lokasi. “Untuk itu, Kementan melalui Badan Litbang Pertanian melakukan pengkajian untuk memastikan inovasi yang dikembangkan Kementan, baik berupa varietas unggulan, metode budidaya, maupun penanganan hama, memang  sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan petani,” jelas Suwandi.

Keberhasilan Indonesia meningkatkan produktivitas padi pada tiga tahun terakhir tidak bisa dilepaskan dari pengembangan inovasi yang bersumber dari identifikasi terhadap kebutuhan petani tersebut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 75,55 juta ton. Angka ini meningkat 4,66 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 70,85 juta. Sedangkan produksi pada 2016 mencapai lebih dari 79 juta ton.

Peningkatan produtivitas beras adalah hasil inovasi yang dikembangkan Kementan dalam memecahkan permasalahan paceklik permanen. Permasalahan ini terjadi karena luas tanam bulanan padi pada Juli sampai September yang hanya berada kisaran 500 hingga 600 ribu hektare. Kementan melakukan terobosan dengan menjaga luas tanam bulanan padi pada Juli hingga September minimal 900 ribu hektare.

Untuk mendukung program peningkatan produktivitas padi, Kementan mengerahkan aparaturnya baik pejabat eselon I dan II terjun ke lapangan dan aparatur pada 30 Balai Pengkajian Tekonologi Pertanian (BPTP), bekerja sama dengan Dinas Pertanian Provinsi, Dinas Pertanian Kabupaten, Penyuluh dan Babinsa, untuk memonitor luas tambah tanam (LTT) padi di seluruh kawasan Indonesia setiap harinya. Selain memonitor LTT, aparatur BPTP juga turut mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi petani di lapangan.

Menurut dia, penelusuran data dan fakta di lapangan sangat penting. Dengan begitu, Kementan dapat secara cepat menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi petani. "Kalau pendekatan komunikasi dilakukan secara kombinasi bottom up planning dan top down policy, sehingga memudahkan Indonesia mencapai swasembada pangan,” kata Suwandi.

Peningkatan produktivitas pangan secara langsung berimbas kepada peningkatan kesejahteraan petani. Berdasarkan data yang dirilis BPS, gini rasio di desa pada 2016 menurun  sebesar 0,007 dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, nilai tukar petani (NTP) dan nilai tukar usaha pertanian (NTUP) meningkat masing-masing 0,18 persen (101,7) dan 2,47 persen (109,8). Dengan demikian, Suwandi optimistis kebijakan pembangunan pertanian yang dikembangkan saat ini dapat secara efektif meningkatkan kesejahteraan petani dan juga mencapai visi Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement