REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menilai, pertumbuhan ekonomi yang tumbuh stagnan di 5,01 persen atau tidak mengalami perubahan mengindikasikan bahwa perekonomian sedang dalam kondisi yang tidak sehat.
Hal ini misalnya terlihat dari konsumsi rumah tangga yang kinerjanya pada triwulan II masih di bawah ekspektasi atau hanya tumbuh 4,95 persen. Angka ini terbilang rendah karena tahun lalu bisa tumbuh 5,07 persen. Padahal konsumsi rumah tangga jadi motor pertumbuhan ekonomi paling utama dengan kontribusi terhadap ekonomi sebesar 56 persen.
''Penyebab lesunya konsumsi rumah tangga bisa ditelusuri dari kebijakan Pemerintah yang menyesuaikan harga listrik golongan 900 VA,'' kata Bhima, saat dihubungi, Senin (7/8).
Ia mengatakan, dampaknya sudah dirasakan pada daya beli mulai Januari-Juni. Untuk menjaga daya beli kelompok menengah ke bawah, ia menyarankan ada di pengendalian harga barang yang diatur pemerintah (administered price) seperti BBM, listrik, dan LPG 3 kg, supaya jangan naik sampai akhir tahun.
Ia menambahkan, untuk menjaga daya beli juga perlu ada penguatan jaring pengaman penyaluran rastra dan PKH yang harus tepat waktu dan tepat sasaran. Di sisi lain, perlambatan konsumsi juga terjadi pada kelompok masyarakat atas. Untuk kasus kelas atas, mereka menunda konsumsi dan mengalihkan pendapatan ke tabungan.
''Jadi orang kaya lebih banyak saving, motif menahan konsumsi lebih ke berjaga-jaga karena melihat outlook ekonomi dan risiko politik menjelang pilpres,'' jelas Bhima.
Sementara, lanjutnya, kalau dilihat dari belanja pemerintah, tahun ini tidak bisa diharapkan. Selain karena penyerapannya masih rendah, dampak penghematan anggaran juga akan dirasakan di semester II. Bahkan THR dan gaji ke-13 pun terbukti belum mampu menangkal pelemahan daya beli.
Secara sektoral, yang perlu diperhatikan ada di pertumbuhan industri pengolahan. Angkanya turun tajam dibanding triwulan sebelumnya, dari 4,24 persen jadi 3,54 persen. Selain itu, industri pengolahan terbilang masuk ke fase deindustrialisasi dengan share industri yang terus menurun terhadap PDB.
Data BPS menyebut bahwa share industri pengolahan hanya 20,26 persen. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya masih di angka 21 persen. ''Kalau fenomena deindustrialisasi terus dibiarkan, penyerapan tenaga kerja secara agregat akan rendah dan berakibat pada penurunan pendapatan masyarakat secara umum,'' ujar Bhima.