Senin 24 Jul 2017 07:05 WIB
Analisis

Disiplin dan Konsolidasi APBN

Imam Sugema
Foto: Darmawan/Republika
Imam Sugema

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iman Sugema*

Pemerintahan Presiden Jokowi akan dikenang oleh rakyat sebagai pemerintahan yang paling sukses dalam membangun infrastruktur secara masif dan cepat.  Walaupun belum semua proyek infrastruktur selesai, tapi wujudnya sudah tampak nyata dan sudah terasa manfaatnya.  Pembangunan jalan tol, jalan nasional, waduk, embung, pembangkit listrik, bandara, dan pelabuhan terlihat sangat cepat dan menyeluruh.  Tidak hanya di Jakarta atau Jawa, tapi hampir di seluruh penjuru negeri.  Barangkali tidaklah sangat berlebihan bila ada teman warga asing yang mengatakan bahwa progres pembangunan fisik selama 2 tahun terakhir telah melampaui pencapaian 10 tahun sebelumnya.

Pembangunan yang begitu masif menunjukan peningkatan efektifitas APBN dari sisi kebijakan pengeluaran (spending policy).  Hal tersebut dicapai dengan mengalihkan sebagian besar subsidi energi menjadi anggaran infrastruktur.  Walaupun demikian kita masih belum melihat adanya terobosan baru di bidang yang lain.  Anggaran pendidikan yang sangat besar belum juga menunjukan perbaikan kualitas pendidikan yang lebih baik.  Dana desa yang akan mencapai Rp 60 triliun tahun ini juga belum begitu kelihatan hasilnya karena variasi kapasitas pemerintahan desa yang sangat beragam.  Tampaknya kita belum menemukan formula yang pas untuk pembangunan soft infrastructure.  Setelah sukses membangun infrastruktur fisik, kita berharap Presiden dan tim dapat melakukan terobosan di bidang lainnya.

Percepatan pembangunan fisik juga perlu didukung oleh sisi penerimaan pemerintah.  Dalam bidang ini, pemerintah berharap adanya peningkatan penerimaan pajak dengan mengandalkan data kekayaan wajib pajak yang terhimpun dari amnesti pajak.  Hanya saja pemerintah tampaknya masih sangat konservatif di bidang ini yang tercermin dengan proyeksi rasio pajak yang hanya akan mencapai 12,4 sampai 13,4 persen di tahun 2020 nanti.  Di sisi lain, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) diperkirakan akan semakin mandeg.  Karena itu dari sisi penerimaan, sejauh ini kita tidak bisa berharap terlalu banyak akan ada terobosan yang signifikan.  Dengan demikian, peningkatan efektifitas belanja tetap merupakan bagian terpenting dalam penyehatan APBN.

Hingga saat ini, APBN kita masih menunjukan gejala kurang sehat.  Hal ini ditunjukan dengan terjadinya defisit primer yang semakin membengkak.  Keseimbangan primer yang mengalami defisit menunjukan bahwa untuk membayar bunga utang saja kita tidak mampu.  Dengan postur APBNP 2017 seperti yang diusulkan pemerintah ke DPR maka 55 persen tambahan utang akan dipakai untuk membayar bunga dari utang lama.  Memang ini merupakan beban warisan sejak pemerintahan Soeharto sampai sekarang.  Tapi pemerintahan Jokowi perlu segera mengatasi masalah ini supaya pemerintahan yang akan datang tidak lagi terbebani oleh tumpukan utang yang semakin memberatkan.

Logikanya sederhana saja. Kalau untuk membayar bunga saja harus menambah utang, berarti kita tidak memiliki kemampuan melunasi utang.  Karena itu secara perlahan tapi pasti, rasio utang terhadap penerimaan negara akan semakin buruk.  Akhir tahun ini rasio tersebut akan bertengger di kisaran 210 persen.  Selain itu, lebih dari seperdelapan penerimaan negara dipakai untuk bayar bunga utang saja.

Lantas apa strategi untuk menurunkan beban utang tersebut?  Setidaknya ada dua tahapan yang seyogyanya dilakukan secara gradual.  Tahap pertama adalah secara perlahan pemerintah mengurangi defisit primer sampai menjadi nol persen.  Dengan strategi ini utang secara nominal masih akan bertambah tetapi rasio utang terhadap penerimaan negara akan semakin berkurang.  Strategi yang kedua adalah menjaga rasio utang terhadap PDB yang relatif aman yaitu sekitar 20 persen, atau rasio utang terhadap penerimaan negara sekitar 125 persen. Yang paling sulit tentunya adalah membawa defisit primer ke angka nol persen, karena itu berarti harus mengurangi defisit total dari 2,92 persen ke sekitar 1,33 persen terhadap PDB.  Untuk tahapan yang kedua, defisit total harus turun ke angka 1 persen dari PDB.

Dengan angka defisit yang semakin rendah maka akan tercipta dua keuntungan yang sebelumnya tidak pernah ada.  Pertama, dengan semakin sehatnya postur APBN maka peringkat utang pemerintah akan semakin membaik dan selanjutnya akan menurunkan beban pembayaran bunga.  Kedua, dengan semakin baiknya rating maka country risk semakin rendah yang pada gilirannya akan membuka ruang yang semakin lebar bagi penurunan suku bunga swasta di dalam negeri.  Dengan turunnya suku bunga maka dunia usaha akan lebih bergairah dalam berinvestasi. Peningkatan investasi swasta akan pada gilirannya akan membuat efek pembangunan infrastruktur menjadi semakin nyata. Dengan cara ini kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi akan melesat diatas kisaran 5 persen.

Sebagai kata akhir, pengendalian defisit fiskal bisa menjadi jawaban terhadap masalah pertumbuhan ekonomi.  Syaratnya hanya satu yakni disiplin untuk secara konsisten membawa rasio defisit ke batas yang paling aman. Semoga bisa dilakukan.

 

*Tim Ekonomi Jokowi-Jusuf Kalla

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement