Jumat 21 Jul 2017 20:11 WIB

Indonesia Dinilai Perlu Revolusi Keuangan Negara

Kemiskinan, ilustrasi
Foto: Pandega/Republika
Kemiskinan, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) Sasmito Hadinegoro menegaskan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan yang konkrit dan adil secara proporsional adalah dengan melakukan revolusi keuangan negara sebagai tindak lanjut dari revolusi mental. Tanpa langkah revolusi keuangan negara secara total, mustahil ekonomi Indonesia bisa bangkit. 

“Adalah sebuah mimpi disiang bolong jika usaha memperbaiki indeks gini rasio tanpa diberangi dengan keseriusan melakukan pembenahan total pengelolaan keuangan negara. Sebab, salah satu penyebab terjerembabnya ekonomi kita adalah mental pejabat pemerintah yang tidak pro rakyat kecil,” ujar Sasmito di Jakarta, Jumat (21 /7) berdasarkan rilis yang diterima republika.co.id.

Sasmito menilai, perbaikan pembangunan ekonomi yang digagas pemerintah saat ini justru tidak mempersempit kesenjangan ekonomi antar masyarakat. Ia menilai yang terjadi, kebijakan yang dibuat malahan membuat gap antara kaya dan miskin semakin melebar.

Untuk itu, dia berharap agar pemerintah melakukan perubahan dalam menyusun prioritas pembangunan. Artinya, konsep pembanguNan ekonomi harus benar-benar serius dan tulus pro rakyat.

 Selama hampir 50 tahun terakhir atau setengah abad lebih, jelasnya desain kebijakan ekonomi nasional lebih pro konglomerat. “Konglomerat dimanjakan sejak jaman orde baru hingga jaman reformasi ini. Saya siap berdebat dengan siapapun terkait kondisi ini, karena memang faktanya hampir 72 tahun Indonesia Merdeka, kue ekonomi lebih banyak dikuasai segelintir orang kaya,” ujarnya.

Padahal tuturnya tugas utama pemerintah itu melayani kepentingan masyarakat kecil. “Sepertinya pemerintah abai dengan rakyatnya sendiri. Hal ini sangat fatal dan berbahaya,” tegasnya.

Lebih lanjut, Sekjen Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI) melihat, hasil pembangunan ekonomi semakin tidak merata. Kekayaan negara secara kasat mata sekitar 90 persen dinikmati dan dikuasi oleh kurang dari 1000 orang saja.

Sementara, lebih dari 200 juta pendukuk Indonesia harus mati-matian memperebutkan kekayaan negara yang nilainya tinggal 10% saja. “Kami dari Gerakan Hidupkan Mayarakat Sejahtera (HMS) mengusulkan kepada seluruh stakeholder di negeri ini supaya benar-benar berjuang menegakan keadilan ekonomi di negeri ini,” imbuhnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement