Ahad 09 Jul 2017 13:24 WIB

Sulit Penuhi Garam, AIPGI 'Kibarkan Bendera Putih'

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Petani memanen garam (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Petani memanen garam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Harga garam di dalam negeri melambung hingga 400 persen. Ironisnya lagi, garam itu sulit didapat dan tergolong langka.

Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), Cucu Sutara, mengatakan, sudah menyerah dalam hal penyediaan garam untuk kebutuhan dalam negeri. Bahkan, dirinya tak ragu menyebut bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami krisis garam.

"Akan banyak perushaaan kolaps. Karena garam ini merupakan komponen yang tidak bisa disubstitusi," katanya.

Untuk mengatasi hal ini, kata dia, sebenarnya berbagai cara telah dilakukan asosiasi yang dipimpinnya termasuk mendesak dua kementerian terkait baik Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun, hasilnya pemerintah seolah tutup mata akan kondisi yang dialami industri yang telah berkontribusi sebagai penyumbang devisa mencapai 20 miliar dolar Amerika. Padahal, nilai impor garam tidak lebih dari 1 juta dolar Amerika.

Saat ini, kata dia, kebutuhan garam industri mencapai 660 ton. Sedangkan luas lahan garam nasional hanya 3.000 hektare dengan kemampuan produksi tidak lebih dari 70 ton per hektare.

Cucu mengatakan, yang lebih tragis lagi berdasarkan informasi yang diterimanya, di Aceh saat ini tengah kesulitan mendapatkan infus untuk kepentingan medis. Jadi, persoalan garam bukan sekadar isapan jempol, saat ini sudah ada 76 perusahaan memutuskan untuk berhenti produksi.

Salah satu perusahaan distributor garam di Jawa Barat PT Inti Laut membenarkan kondisi ini. Direktur PT Inti Laut Agus Sutikno mengatakan, dirinya sudah tidak bisa lagi memenuhi permintaan garam industri. Karena, stok yang ada tinggal 50 ton. Sementara satu pabrik setiap harinya memerlukan 20 ton garam.

Selama ini, kata dia, ia mendapatkan garam dari Cirebon, Indramayu dan Surabaya, tapi mereka tidak memenuhinya karena tidak ada barang. "Petani sendiri tidak bisa memenuhi karena gagal panen akibat cuaca," katanya.

Produsen garam dari PD Sumur Sari, Ook Hermanto, mengatakan, petani tak bisa produksi garam akibat cuaca yang tidak menentu sejak awal tahun. Padahal, biasanya memasuki bulan Juli hingga November merupakan musim panen karena cuaca mendukung. "Kalau cuaca bagus kami bisa produksi, kalau sekarang setiap mau jemur, hujan turun," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement