Rabu 28 Jun 2017 02:16 WIB

Asuransi Syariah Diperkirakan Tumbuh 20 persen

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Budi Raharjo
Asuransi Syariah (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
Asuransi Syariah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kontribusi industri asuransi syariah diprediksi dapat tumbuh mencapai 20 persen pada 2017. Meskipun industri ini termasuk rentan terhadap kondisi ekonomi yang kurang mendukung.

Menurut Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), aset asuransi syariah akan tumbuh 30 persen di tahun 2017, dengan kontribusi syariah bertambah hingga 15-20 persen di periode yang sama.

Merujuk pada outlook Islamic Insurance Karim Consulting 2017, pertumbuhan diperkirakan akan meningkat mencapai 20 persen. "Diperkirakan pencapaian tertinggi diraih oleh asuransi jiwa dengan pertumbuhan mencapai 15 persen atau lebih baik," ujar CEO Karim Consulting, Adiwarman Karim, beberapa waktu lalu.

Adapun berdasarkan riset KPMG, pertumbuhan yang positif diperkirakan akan tumbuh hingga tahun 2020. Diproyeksikan pertumbuhan premi pada asuransi jiwa mencapai 13 persen atau setara dengan Rp 243 triliun. Pertumbuhan premi pada P&C diproyeksikan mencapai 10 persen atau setara dengan Rp 81 triliun. Penetrasi pasar asuransi jiwa syariah diperkirakan akan mencapai 14 persen pada tahun 2020.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan pertumbuhan kontribusi asuransi syariah dapat tumbuh 22,35 persen selama 2017 ini. Direktur Industri Keuangan Non-Bank Syariah (IKNB) OJK Moch. Muchlasin menjelaskan, melihat pencapaian kontribusi industri asuransi syariah hingga April 2017, pihaknya optimistis proyeksi tersebut akan tercapai.

Berdasarkan data OJK, pencapaian kontribusi asuransi syariah per April 2017 yaitu sebesar Rp 4,06 triliun, hampir dua kali lipat dari proyeksi berdasarkan analisis atas seluruh Rencana Bisnis Asuransi Syariah yang masuk ke OJK, yang sebesar Rp 2,48 triliun.

Dari jumlah tersebut dirinci, kontribusi asuransi jiwa syariah sebesar Rp 3,28 triliun, kontribusi asuransi umum syariah sebesar Rp 650 miliar, dan reasuransi syariah sebesar Rp 133 miliar. "Melihat data tersebut kita optimistis proyeksi 22,35 persen dapat tercapai," ujar Muchlasin.

Sementara itu, berdasarkan data OJK, kontribusi premi asuransi syariah pada Desember 2016 yakni sebesar Rp 6,07 triliun. Dengan rincian kontribusi asuransi jiwa syariah sebesar Rp 4,49 triliun, asuransi umum syariah sebesar Rp 2,14 triliun dan reasuransi syariah Rp 405 miliar. Sedangkan proyeksi akhir tahun 2017, kontribusi asuransi syariah diharapkan tumbuh 22,35 persen menjadi Rp 7,43 triliun.

Dari sisi global, berdasarkan laporan lembaga rating global, Standard and Poor (S&P) Global Rating, dikutip dari TradeArabia, Selasa (27/6), disebutkan bahwa pada tahun 2017- 2018 industri keuangan syariah global akan tumbuh stagnan. Untuk sektor industri syariah disebutkan rentan terhadap lingkungan yang kurang mendukung.

Pertumbuhan kontribusi takaful (asuransi) gross stagnan pada 2016 dibandingkan tahun 2015, dan S&P memperkirakan hal ini juga akan terjadi pada 2017-2018. "Namun, kami yakin industri takaful memiliki ruang pertumbuhan yang cukup besar jika dibantu oleh insentif peraturan dan pengembangan lebih lanjut di segmen keuangan syariah lainnya," kata S&P Ratings dalam laporan tersebut.

Adapun penetrasi asuransi di pasar keuangan syariah inti (Timur Tengah) masih rendah, dengan premi di enam negara Gulf Cooperation Council (GCC) rata-rata 1 -2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dibandingkan dengan lebih dari 6 persen di pasar yang lebih maju. Beberapa tindakan peraturan baru-baru ini, seperti pengenalan skema asuransi kesehatan wajib di Dubai, misalnya, telah menciptakan peluang pertumbuhan bagi perusahaan yang berpartisipasi.

"Menurut kami, meningkatnya permintaan akan produk perlindungan dan tabungan, atau pengenalan asuransi compulsory lebih lanjut, selanjutnya dapat merangsang pertumbuhan," kata S&P.

Pada saat yang sama, S&P meyakini bahwa mengetatkan peraturan berbasis risiko di beberapa pasar akan membantu menciptakan pemain asuransi syariah yang lebih kuat, namun dapat meningkatkan biaya operasional, terutama untuk beberapa perusahaan kecil.

sumber : Center
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement