REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fuji Pratiwi
Sejak bank syariah pertama di Indonesia resmi beroperasi pada 1992, pangsa pasar keuangan syariah Indonesia belum juga sampai angka ganda. Sebagai jangkar, pangsa pasar perbankan syariah baru melewati jebakan lima persen di akhir 2016 lalu setelah konversi Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh menjadi bank syariah. Dengan segala filosofi dan pondasi nilainya, keuangan syariah masih harus bersaing mengambil hati masyarakat.
Mantan Ketua Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo) Ahmad Riawan Amin mengatakan, permasalahan terbesar umat Islam saat ini adalah kesenjangan. Rasio Gini tinggi bukan karena umat Islam malas dan tidak berkontribusi, tapi karena sistem perbankan memprioritaskan sedikit orang untuk meminjam uang dalam jumlah amat besar.
"Sudah saatnya kita ke bank syariah karena kita sudah ditipu sistem konvensional yang sangat jahat. Mereka punya sistem penciptaan uang yang memusingkan banyak orang," ungkap Riawan dalam Rembuk Republik tentang peran ekonomi syariah dalam pembangunan regional di Ballroom Masjid Hubbul Wathan, Mataram, NTB, Kamis (16/6).
Diskusi panel yang diadakan dalam rangkaian Pesona Khazanah Ramadhan NTB itu juga menampilkan nara sumber Kepala Bank Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Barat (NTB) Prijono dan Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Muhammad Firdaus.
Riawan menambahkan, bank syariah juga disudutkan dengan pernyataan tanpa data dengan menilai bank syariah terlalu syariah. Banyak yang berpikir kalau pegawai bank syariah berpeci, tidak ada nasabah yang datang. Nama produk berbahasa Arab juga jadi sulit dipahami masyarakat. Pernyataan macam itu, menurut Riawan, sama seperti mengatakan mobil Mercy terlalu mewah.
Riawan melihat persoalannya bukan itu. Produk keuangan syariah diberi nama apapun selama kompetitif pasti akan dicari nasabah. "Pebisnis itu rasional. Tidak ada urusan nama produk dalam bahasa Arab atau pegawainya berpeci selama produk bank syariah memang bagus," kata mantan direktur utama Bank Muamalat itu.
Pembiayaan syariah juga terbuka untuk siapa saja selama nasabahnya memang baik. “Namun, perlu diingat tujuan utama bank syariah adalah jadi katalisator perkembangan umat Islam,” ujarnya.
Sayangnya, penguatan bank syariah ia nilai kurang optimal. Misalnya pada aturan pemisahan unit syariah (UUS) menjadi bank umum syariah (BUS) atau spin off. Ia pernah mengusulkan agar spin off dilakukan saat aset UUS sudah 30 persen dari total aset induknya.
"Yang sekarang, UUS belum cukup kuat sudah spin off. Itu membuat bank syariah tidak kompetitif karena masih kecil untuk bersaing dengan bank-bank besar itu," kata Riawan.
Untuk menguatkan bank syariah, kata Riawan, opsinya hanya konversi total atau memperkuat UUS. Ia mengapresiasi pilihan masyarakat NTB untuk bersyariah dengan mengonversi total BPD NTB menjadi bank syariah.
Kepala Bank Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Barat (NTB), Prijono menilai, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mendorong peran perbankan syariah. Pertama, citra perbankan syariah saat ini hanya untuk Muslim atau yang untuk setoran naik haji saja. Ini harus diubah, sebab sebenarnya layanan perbankan syariah tidak sekecil itu.
Istilah yang terdengar asing seperti bagi hasil yang diistilahkan dengan mudharabah, bisa disederhanakan menggunakan istilah setempat. Dengan demikian, masyarakat lebih familiar dan lebih mudah memahami. Selain itu, jaringan dan layanan perbankan syariah juga masih
Ke depan, lanjut Prijono, industri perbankan syariah harus dicitrakan sebagai layanan untuk semua. Istilah produk juga harus mudah dipahami dan skema produk yang lebih variatif.
"Kalau nasabah satu cari produk lalu tidak ada, dia kecewa. Penawaran selain pakai istilah Bahasa Arab, mungkin bisa menggunakan istilah lokal. Tinggal bagaimana mengemas agar mudah dipahami," kata Prijono.
Selain itu, jaringan dan layanan jelas harus diperkuat agar jangkauan makin luas. “Juga agar citra bank syariah lekat sebagai bank untuk semua,” tutur Prijono.