REPUBLIKA.CO.ID,DOHA -- CEO Qatar Airways Akbar Al-Baker mengecam tanggapan AS terhadap krisis Teluk yang saat ini sedang terjadi. Al-Baker menuduh AS telah menyiramkan bensin ke kobaran api di dalam krisis tersebut.
Dalam sebuah wawancara dengan CNNMoney, Al-Baker mengatakan blokade yang diberlakukan di negaranya oleh negara-negara Teluk adalah aksi ilegal. Menurutnya, memerlukan intervensi AS untuk menyelesaikan situasi tersebut.
"Organisasi Penerbangan Sipil Internasional harus terlibat secara serius, menempatkan peran mereka di belakang semua ini dan untuk mengatakan bahwa tindakan ini ilegal," kata Al-Baker.
Presiden AS Donald Trump menyatakan dukungannya terhadap keputusan Arab Saudi, bersama dengan UEA, Bahrain, dan Mesir, untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar atas latar belakang tuduhan mendukung terorisme.
"Saya tidak ingin berkomentar tentang Presiden Trump. Saya sangat kecewa. AS harus menjadi pemimpin yang berusaha memecahkan blokade ini tidak hanya duduk dan mengawasi apa yang sedang terjadi dan justru menyiramkan bensin ke api," ungkapnya.
Menurut Al-Baker, Qatar tidak mengharapkan perlakuan semacam itu oleh negara yang telah diuntungkan oleh Qatar. Terlebih Qatar menjadi tuan rumah pangkalan militer AS terbesar di Timur Tengah dengan 10 ribu personil militer.
Jauh sebelumnya, Al-Baker pernah menggambarkan Trump sebagai seorang pengusaha yang pandai. Dia mengaku tertarik untuk berbisnis dengan Trump. "Saya seorang pengusaha dan saya bahkan akan berbisnis dengan setan jika memberikan keuntungan bagi keduanya," ujar Al-Baker.
Meskipun Qatar Airways termasuk maskapai terbesar di dunia, maskapai ini memiliki catatan buruk atas kasus menganiaya staf dan memiliki kebijakan diskriminatif yang melibatkan awak kabin. Maskapai ini dilaporkan memiliki kebijakan dalam kontrak kerja yang memungkinkannya memecat awak kabin wanita karena hamil.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) telah menerbitkan sebuah laporan yang mendesak maskapai tersebut untuk membatalkan kebijakan itu. Namun, Al-Baker berkata dia tidak peduli dengan laporan ILO karena ingin menjalankan sebuah perusahaan penerbangan yang sukses.
Karena melanggar Konvensi ILO 111 mengenai diskriminasi di tempat kerja yang ditandatangani oleh Qatar pada 1976, Federasi Pekerja Transportasi Internasional (International Transport Workers Federation atau ITF) dan Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC) menyatakan Qatar Airways bersalah.
Kedua serikat pekerja tersebut menuduh Qatar Airways memberlakukan diskriminasi berbasis gender dan membatasi hak perempuan.