Rabu 14 Jun 2017 03:31 WIB

Jalla Bisa Lebih Berperan dalam Pembangunan Infrastruktur

Pembuatan konstruksi Jaring Laba-Laba.
Foto: ist
Pembuatan konstruksi Jaring Laba-Laba.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Teknik Sipil, Profesor Herman Wahyudi mengatakan, teknologi jalan beton Jalla (Jaring Laba-Laba) sebagai inovasi anak bangsa seharusnya memiliki peran lebih dalam pembangunan infrastruktur yang tengah digalakkan pemerintah di seluruh wilayah Indonesia.

"Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat khususnya Ditjen Bina Marga seharusnya dapat memberikan peluang bagi inovasi bangsa sendiri khususnya dibidang konstruksi agar dapat diaplikasikan untuk pembangunan infrastruktur, apalagi kalau inovasi tersebut telah lolos uji," kata Prof Herman, Selasa.

Menurut Prof Herman,  teknologi Jalla sendiri samahalnya dengan konstruksi jalan lainnya yang menggunakan perkerasan beton (rigid pavement), hanya saja memiliki struktur yang lebih stabil karena dilengkapi dengan sirip-sirip menyerupai jaring laba-laba.

Prof Herman berpendapat dengan maraknya pembangunan jalan tol dan jalan nasional di berbagai pelosok wilayah Indonesia, termasuk Trans Papua seharusnya juga ikut menyertakan teknologi karya bangsa sendiri, apalagi kalau teknologi tersebut tidak membutuhkan kontraktor dengan keahlian khusus.

Khususnya untuk jalan tol, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dapat memberikan sosialisasi penggunaan konstruksi karya bangsa sendiri sesuai kebijakan pemerintah untuk memperbesar Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).

"Teknologi Jalla itu bisa dikerjakan seluruh kontraktor termasuk kontraktor kecil, disamping itu telah teruji lebih banyak menyerap tenaga kerja, lebih ramah lingkungan karena sedikit menggunakan alat berat, serta lebih ekonomis biaya pembangunan dan pemeliharaannya," kata Prof Herman.

Prof Herman berpendapat belum banyaknya teknologi Jalla dimanfaatkan dalam pembangunan infrastruktur sangat bergantung kemauan dari pemilik proyek baik itu pemerintah, BUMN, atau swasta, kemudian juga konsultan perencana harus ikut terlibat.

"Pendekatannya memang tidak mudah untuk masuk dalam lingkungan tersebut, namun bisa dijalankan sepanjang pemegang paten dalam hal ini PT Katama Suryabumi dapat meyakinkan teknologi ini jauh lebih efisien baik dari segi biaya pembuatan maupun pemeliharaan," kata Prof Herman.

Kalau ada yang menyebutkan teknologi Jalla ini membutuhkan perbaikan tanah (soil improvement) sebelum dihampar di atasnya, Prof. Herman mengatakan, seluruh konstruksi baik itu perkerasan aspal maupun beton terlebih dahulu harus ada perbaikan tanah, khususnya tanah yang memiliki daya rusak tinggi.

"Tanah lempung, tanah ekpansif, dan tanah gambut membutuhkan penanganan khusus terlebih dahulu sebelum di atasnya di tempatkan perkerasan jalan. Semua itu bisa dihitung, mau kualitas seperti apa serta  teknologi mana yang mau dipakai," kata Prof Herman.

Prof Herman mengatakan, untuk di tanah-tanah yang memiliki sifat ekstrim semacam itu teknologi Jalla sudah terbukti mampu menahan beban di atasnya seperti di Dumai Provinsi Riau dan Bojonegoro Jawa Timur. Seharusnya teknologi yang telah teruji semacam ini dapat diberi kesempatan untuk pemanfaatan yang lebih luas lagi.

Prof Herman menyampaikan apresiasinya kerja sama PT Katama Suryabumi yang telah menggandeng BUMN Karya dengan tujuan memanfaatkan pabrik pra cetak yang ada di seluruh Indonesia agar dapat diaplikasikan untuk pembangunan infrastruktur di seluruh pelosok Indonesia.

"Tinggal menunggu keberpihakan dari pengambil kebijakan serta pemilik proyek baik itu dari swasta maupun BUMN," kata Prof Herman.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement