Kamis 25 May 2017 14:35 WIB

ADB: Daerah dan Pusat tak Kompak Perbaiki Iklim Usaha Indonesia

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Asian Development Bank (ADB)
Foto: brecorder.com
Asian Development Bank (ADB)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Pembangunan Asia (ADB) merilis kajian terbarunya terkait iklim usaha di daerah, dibandingkan dengan lingkup nasional. Hasilnya, ternyata masih ada inkonsistensi reformasi kemudahan untuk memulai usaha antara pemerintah pusat dan daerah. Kepala Kantor Perwakilan ADB Indonesia Winfried F Wicklein menyebutkan, inkonsistensi juga terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Sebagai contoh, di Medan, Sumatra Utara proses untuk memulai usaha telah berkurang dari 34 hari menjadi 17 hari saja. Biaya untuk memulai usaha juga bisa ditekan hingga 26 persen. Sayangnya, jumlah prosedur yang harus dilewati oleh pelaku usaha bertambah dari delapan menjadi 14 tahapan. Sementara di Balikapapan, pemda telah melakukan penyerderhanaan prosedur menjadi sembilan tahapan sekaligus menjadi daerah dengan biaya termurah untuk prosedur memulai usaha.

"Tapi tidak ada perubahan signifikan pada pendaftaran hak atas properti," ujar Wicklein dalam paparannya bertajuk 'Meretas Jalan Perubahan, Langkah Awal Memulai Reformasi Iklim Usaha di Daerah', Kamis 925/5).

Wicklein menilai, pemerintah daerah memiliki peran yang krusial dalam meningkatkan iklim investasi di daerah. Menurutnya, proses desentralisasi telah memberikan banyak kewenangan kepada pemerintah daerah, termasuk dengan kewenangan menyediakan izin bagi UKM, menerbitkan izin pendirian bangunan, dan mengatur tentang properti atau pendaftaran tanah. Artinya, hal-hal tersebut menjadi sangat penting dalam ukuran kemudahan berusaha.

Selain itu, kata Wicklein, pengukuran tentang reformasi iklim investasi yang dilakukan di Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Balikpapan ini juga menemukan dua inkonsistensi lainnya. ADB menemukan bahwa inkonsensistensi membuat rendahnya standar dalam pelayanan memulai usaha, mendapatkan izin-izin pendirian bangunan dan pendaftaran hak atas tanah dan bangunan. Ia memberi contoh, jumlah prosedur dan biaya untuk memulai usaha di daerah masih relatif lebih mahal dibandingkan dengan standar yang ditetapkan pemerintah pusat, yakni 10 hair kerja dengan biaya sekitar Rp 2,7 juta atau 200 dolar AS.

"Selain itu, rendahnya kapasitas pejabat pemerintah daerah di lima kota menyebabkan peraturan inkonsistensi dan kinerja kurang lancar," katanya.

Wicklein mengungkapkan, studi ini diharapkan dapat menjelaskan kepada pembuat kebijakan Indonesia di tingkat pusat maupun daerah mengenai identifikasi masalah hambatan utama di bidang memulai usaha, mengurus izin-izin pendirian bangunan, mendaftarkan hak atas tanah dan bangunan.

Ia menjelaskan, pemerintah daerah memiliki peran yang krusial dalam meningkatkan iklim investasi di daerah. Proses desentralisasi telah memberikan banyak kewenangan kepada pemerintah daerah, dengan kewenangan menyediakan izin bagi UKM, menerbitkan izin pendirian bangunan dan mengatur tentang properti atau pendaftaran tanah. Sehingga hal itu sangat penting dalam ukuran kemudahan berusaha.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan studi ini menemukan bahwa terjadi inkonsistensi atas standar nasional dan implementasi di daerah. Menurut dia, inkonsistensi reformasi berkontribusi dengan reformasi yang berjalan.

"Inkonsistensi membuat rendahnya standar dalam pelayanan memulai usaha, mendapatkan izin-izin pendirian bangunan, dan pendaftaran hak atas tanah dan bangunan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement