Senin 22 May 2017 15:59 WIB

Menghidupkan Ekonomi Pancasila di Era Digital

Andi Taufan Garuda Putra, Anggota Asosiasi FinTech Indonesia dan CEO & Founder Amartha
Andi Taufan Garuda Putra, Anggota Asosiasi FinTech Indonesia dan CEO & Founder Amartha

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Andi Taufan Garuda Putra* dan Fadilla Zain

Pancasila -- bahasan yang kini marak muncul lagi ke permukaan di antara obrolan makan siang, laman berita, maupun di antara kemacetan Ibu Kota. Prinsip kebangsaan yang digagas olah para cendikia pada 1 Juni 1945 silam ini telah lama jadi landasan, tak hanya dalam berpolitik seperti yang sedang hangat, namun juga sosial, ekonomi, dan budaya.

Tulisan ini akan mengajak Anda kembali menengok konsep ekonomi menurut Pancasila, terutama di era digital seperti sekarang ini. Istilah “Ekonomi Pancasila” pertama kali diperkenalkan tahun 1967 dalam suatu artikel Dr Emil Salim, pakar ekonomi Indonesia. Ekonomi Pancasila digali dan dibangun dari nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat Indonesia yang mengedepankan prinsip kemanusiaan, nasionalisme, dan demokrasi.

Prinsip yang berpihak pada kerakyatan dan keadilan ini tertuang rapih dalam sila kelima Pancasila dan UUD Pasal 33. Bagaimana kita yang hidup di era digital, dapat menghidupkan kembali semangat Ekonomi Pancasila? Bagaimana teknologi mampu membuka akses kepada lebih banyak lapisan untuk berpartisipasi menggerakkan roda ekonomi?

Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat

Atuh neng, takut ke bank mah. Mahal mereun nya?" (baca: mahal mungkin ya?), ujar Atih, 31 tahun, petani pepaya kalina di Desa Ciseeng, Bogor, salah satu mitra Amartha, perusahaan teknologi berbasis peer-to-peer lending untuk usaha mikro di Indonesia.

Atih bukan satu-satunya, data Asian Development Bank September 2015; pada jurnal “Financial Inclusion in Asia: An Overview”, memaparkan bahwa masih 78 persen dari 255 juta populasi Indonesia yang masih berada pada kategori unbanked (tidak memiliki rekening di Bank dikarenakan tidak adanya akses).

Salah satu prinsip Ekonomi Pancasila adalah keadilan ekonomi. Namun saat ini, akses layanan untuk menyimpan, menarik, dan mengirim uang memang masih jadi kendala di Indonesia terutama dari segi pemerataan. Selain karena infrastruktur, masih banyak masyarakat akur rumput yang enggan menggunakan jasa perbankan.

Layanan penyimpanan uang memang masuk pada kategori layanan dasar perbankan, namun sebenarnya layanan finansial yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat piramida terbawah seperti Atih adalah akses pemodalan. Suntikan biaya sekecil Rp 2.000.000 mampu membuat usaha mikro seperti budi daya pepaya berkembang lebih pesat.

Pada studi yang dilakukan Amartha tercatat bahwa pengusaha mikro yang mendapatkan pembiayaan mulai dua juta Rupiah dan tenor satu tahun, mampu menaikkan pendapatan rata-rata bulanan sebesar 41 persen. Studi ini dilakukan pada 400 sampel pengusaha mikro seperti Atih yang tinggal di Jawa Barat, membandingkan keadaan sebelum dan sesudah masa pembiayaan.

Teknologi peer-to-peer lending adalah salah satu cara untuk membuka akses permodalah untuk mereka yang belum terjangkau layanan perbankan. Teknologi ini juga mampu menjadi jembatan bagi rakyat di perkotaan untuk berkontribusi pada rakyat di pedesaan -- mempertemukan pemodal yang memiliki disposable income, dengan pengusaha unbanked yang membutuhkan suntikan dana karena keterbatasan akses di wilayah mereka.

Melalui peran teknologi, keadilan ekonomi untuk semua lapisan masyarakat dapat lebih merata dengan menerapkan prinsip dari, oleh, dan untuk rakyat.

Asas kekeluargaan di era digital

Ibu Atih, petani pepaya, adalah salah satu contoh pelaku ekonomi gotong royong di Indonesia. Sejak 2013, Atih bersama 17 tetangga di sekitar rumahnya membentuk sebuah kelompok (group lending) atau mereka menyebutnya Majelis untuk mendapatkan pembiayaan modal usaha dari Amartha.

Penerapan sistem peminjaman kelompok (group lending) mewajibkan setiap anggota untuk tahu dan memonitor tujuan pembiayaan satu sama lain. Selain itu, mereka juga bersedia saling bantu saat ada salah satu anggota yang mengalami kesulitan, sistem ini dikenal dengan nama tanggung renteng,

“Jadi kalo saya belum panen pepaya dan gak bisa bayar cicilan, nanti ditalangin dulu sama yang lain. Kalo udah panen kadang-kadang saya bayarnya pakai pepaya neng, ya tergantung kalo ada yang baik mah” cerita Atih lebih lanjut. Di kelompok inilah pendekatan gotong royong diterapkan.

Sistem group lending bukan hal yang baru. Sistem ini banyak diadaptasi oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia seperti Mitra Bisnis Keluarga, Koperasi Mitra Dhuafa, dan Pemodalan Nasional Madani. Sistem Peminjaman Kelompok terbukti cocok dan mampu mengakomodir kebutuhan dan budaya finansial masyarakat piramida bawah Indonesia.

Budaya sosial yang lekat dengan semangat “mangan ra mangan asal ngumpul” membuat setiap individu mau dan mampu mengawasi individu lain untuk tetap berlaku baik selama tenor peminjaman berjalan. Terbukti bahwa LKM yang mengadaptasi sistem ini rata-rata memiliki default rate yang relatif rendah -- bahkan di angka nol persen.

Teknologi kini mampu melengkapi sistem group lending dengan lebih baik, contohnya dengan pengembangan sistem skor kredit untuk calon peminjam. Sistem perbankan konvensional sudah lama menerapkan skor kredit menggunakan analisa rekam finansial dan BI checking. Sistem ini berfungsi maksimal untuk mereka yang sudah memiliki akses ke layanan perbankan, namun tidak bisa diterapkan untuk mereka yang belum pernah memiliki rekening di bank.

Amartha mengembangkan teknologi skor kredit yang dikombinasikan dengan metode psikometrik, big data, dan machine learning, serta mengembangkan algoritma yang mampu mengukur tingkat kemampuan dan kemauan bayar dari calon peminjam. Sehingga, ketika ada calon peminjam baru yang notabene adalah masyarakat pedesaan tanpa catatan perbankan, Amartha mampu menghasilkan skor kredit unik yang diperoleh dari hasil analisa karakter, demografi peminjam, serta data analisa rata-rata peminjam lain yang sudah pernah menerima pembiayaan di Amartha.

Efeknya, skor kredit yang dihasilkan juga bisa mengukur probabilitas ketepatan waktu pembayaran angsuran setiap calon peminjam. Melalui teknologi skor kredit dengan psikometrik, semua lapisan masyarakat dapat diukur profil risikonya termasuk masyarakat unbanked, sehingga para calon pemodal juga bisa meminjamkan dan dengan lebih bijaksana.

Kondisi ini akan menggemburkan tingkat partisipasi ekonomi dari lapisan atas untuk bisa menggerakkan sektor riil -- mendorong terwujudnya keadilan ekonomi, bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

* Andi Taufan Garuda Putra, Anggota Asosiasi FinTech Indonesia dan CEO & Founder Amartha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement