Selasa 02 May 2017 15:38 WIB

Rizal Ramli Sebut Ada Kebijakan Salah yang Disengaja di Kasus BLBI

Rep: Santi Sopia/ Red: Nur Aini
Rizal Ramli
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Rizal Ramli

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Indonesia sekaligus mantan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli diperiksa sebagai saksi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh KPK, Selasa (2/5). Rizal menyebut kemungkinan ada kebijakan yang salah pada masa krisis moneter di mana Bank Indonesia membantu bak-bank yang tengah kolaps pada periode 1997-1998 saat itu.

"Ada kebijakan yang salah, dalam kasus Century, kebijakan yang salah sengaja, di dalam kasus BLBI, soal Inpres, tanya sama KPK aja," ujar Rizal seusai diperiksa.

Rizal menyebut kebijakan surat keterangan lunas (SKL) untuk para obligor BLBI digulirkan pada 2004. Sementara dirinya menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Indonesia pada 2000-2001 dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid. "SKL itu dikeluarkan 2004, jadi bukan pada masa kami," katanya.

Rizal mengaku diperiksa KPK karena dinilai mengetahui prosedur, proses pengambilan keputusan, masalah-masalah yang ada di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kala itu. Menurut dia, untuk kebijakan bersifat strategis dilaporkan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), sejumlah menteri, maupun BPPN ke Menteri Koordinator Perekonomian.

"Ada level kebijakan, implementasi, tapi esensinya, pak Kwiek Kian Gie juga perintahkan tagih, kami minta tagih sama obligor, kecuali ternyata bangkrut, tapi selama punya kemampuan, tagih," katanya.

Namun, pada dasarnya, menurut Rizal, kalau memang obligor yang sudah memenuhi kewajiban, maka wajar diberikan SKL. Faktanya, kata Rizal, sejumlah obligor belum melunasi kewajibannya tetapi sudah diberikan SKL oleh pemerintah.

"Kami mengimbau obligor yang masih punya kewajiban, tolong dipenuhi karena banyak dari mereka setelah krisis 19 tahun lalu itu makin hebat, makmur, penuhi dong kewajiban pada republik ini. Kami juga minta pemerintah tetangga terutama Singapura agar obligor yang belum, bisa memenuhi," ujarnya.

Sebelumnya KPK menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka dalam perkara BLBI ini. Menurut hasil penyelidikan KPK, Syafruddin menyetujui KKSK atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi dari kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement