Sabtu 29 Apr 2017 07:01 WIB

Menteri Susi Sebut Cantrang Digunakan Oleh Kapal-Kapal Besar

Rep: Frederikus Bata/ Red: Dwi Murdaningsih
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memberikan keterangan pers di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Selasa (17/1).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memberikan keterangan pers di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Selasa (17/1).

REPUBLIKA.CO.ID, BALI -- Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti meminta para pengusaha perikanan tangkap mematuhi aturan larangan penggunaan cantrang. Ia menyayangkan, masih banyak pengusaha mencoba mengadu domba berbagai pihak dan membuat fitnah dan pernyataan bohong demi keuntungan pribadi.

“Pada para pengusaha besar tolong stop untuk mengadu domba, lobi kanan kiri. Sudah, Anda semua sudah cukup berpesta jaman tidak ada aturan di laut ini. Sekarang kita mau atur karena laut tidak mau kita punggungi lagi. Kita ingin laut bisa memberi PDB (Produk Domestik Bruto) yang baik bagi negara. Supaya bisa menunjang program kesejahteraan,” ujar Susi di depan awak media selepas acara konferensi internasional Fishery Transparency Initiative (FiTI) di Bali, lewat keterangan tertulis pada Jumat (28/4).

Susi menyayangkan, banyaknya mafia yang menjadikan masyarakat sebagai alasan dan tameng untuk melawan kebijakan pemerintah demi keuntungan pribadi. Menurutnya laut masa depan bangsa berarti bangsa Indonesia dari generasi ke generasi harus dapat hidup dari lautan. Caranya dengan menjaga sumber daya perikanan tetap ada dan tetap banyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Ini Alasan Menteri Susi Larang Penggunaan Cantrang

"Kalau diangkat terus dan habis, ya laut masa depan bangsa akan habis. Tinggal slogan saja,” kata Susi.

Susi menjelaskan, penggunaan alat tangkap cantrang dilarang karena pengoperasian cantrang menyentuh dasar perairan. Pengoperasian ini berpotensi mengganggu dan merusak ekosistem substrat tempat tumbuhnya organisme atau jasad renik yang menjadi makanan ikan, sehingga menyebabkan produktivitas dasar perairan berkurang. Cantrang juga dapat menjaring berbagai jenis ikan dengan berbagai ukuran yang tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan kelautan dan perikanan Indonesia.

“Kita menyetujui bahwa cantrang itu cara beroperasinya itu menggaruk dasar laut. Itu merusak. Sebenarnya banyak yang sudah beralih. Cantrang ini umumnya bukan dipakai nelayan (kecil) lagi, tetapi sudah saudagar besar. Tapi banyak juga mereka (saudagar besar) yang memakai gillnet dan purse seine. Jadi, pelarangan cantrang ini bukan akhir segalanya,” ujarnya.

Larangan ini  telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 tahun 2015. Beberapa jenis alat tangkap yang dilarang di antaranya pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine trawls), di mana cantrang termasuk dalam kategori trawls. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (Dirjen PT KKP) Sjarief Widjaja menjelaskan, larangan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan sebenarnya telah dikeluarkan di masa pemerintahan Presiden Soeharto lewat Kepres Nomor 39 tahun 1980. Namun belakangan, masyarakat mulai mencari alternatif pengganti sehingga menciptakan cantrang yang dikenal saat ini.

“Dulu tahun 1980, trawls itu sudah dilarang. Maka kemudian mulai muncul alternatif pengganti misalnya cantrang. Awalnya cantrang itu ramah lingkungan. Tetapi belakangan mulai dimodifikasi. Cantang yang diizinkan tidak menggunakan pemberat, jaring tidak panjang, dan ditarik tangan manusia. Tidak seperti cantrang saat ini yang jaringnya puluhan hingga ratusan kilo meter, menggunakan pemberat, ditarik mesin. Itu sudah tidak ramah lingkungan,” ujar Sjarief.

Menurut Sjarief cantrang umumnya digunakan oleh kapal-kapal besar di atas 30 GT. Ia juga mengungkapkan, sebagian kapal cantrang juga melakukan mark down besar-besaran. “Banyak kita temui, kapal cantrang katanya 20 GT, pas diukur ternyata 80 GT. Dibuat di bawah 30 GT untuk menghindari pajak,” tuturnya.

Pada 2015 tercatat  sebanyak 5.781 unit cantrang di seluruh Indonesia. Kemudian KKP melakukan pergantian sebanyak 1.529 unit dengan alat tangkap ramah lingkungan dan proses tersebut masih terus berlanjut. Namun, Sjarief menyayangkan kecurangan yang terus terjadi.

Pada awal 2017, KKP mencatat kenaikan alat tangkap cantrang menjadi 14.357 unit. Menurut Sjarief, pemerintah tidak hanya melarang cantrang tanpa solusi bagi nelayan. Pemerintah, kata dia telah menyediakan beberapa langkah penanganan. Untuk kapal di bawah 10 GT, penggantian alat tangkap akan disediakan seluruhnya oleh negara. Adapun kapal 10-30 GT, pemerintah membantu fasilitas permodalan dari bank. Untuk kapal di atas 30 GT, pemerintah menyediakan WPP di Timur dan Barat yaitu laut Arafura dan Natuna yang dulu umumnya dikuasai asing.

“Ratusan kapal yang sudah ke timur, itu untungnya luar biasa. Tangkapannya besar, jenis ikannya mahal-mahal. Bukan ikan kuniran, mata goyang, dan rucah yang harganya murah," ujar Sjarief.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement