Selasa 04 Apr 2017 00:15 WIB

Nilai Tukar Petani Maret 2017 Kembali Turun

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Budi Raharjo
 Petani memisahkan bibit padi untuk ditanam di lahan sawah di Sambiroto, Ngawi, Jawa Timur, Senin (13/3).
Foto: ANTARA FOTO
Petani memisahkan bibit padi untuk ditanam di lahan sawah di Sambiroto, Ngawi, Jawa Timur, Senin (13/3).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Maret 2017 mengalami penurunan hingga 0,38 persen dari bulan sebelumnya, menjadi 99,95 atau di bawah "batas amannya di angka 100". NTP  memberikan gambaran perbandingan antara harga yang diterima petani dibandingkan harga yang dibayar.

Artinya, nila NTP berada di bawah 100 maka harga yang dibayar petani untuk menghidupi keluarganya lebih tinggi dibanding harga yang diterima. Harga yang dibayar petani termasuk konsumsi rumah tangga sehari-hari dan biaya produksi penambahan barang modal.

Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan, penurunan NTP ini lantaran indeks harga yang diterima petani (It) turun 0,39 persen lebih besar dari penurunan indeks harga yang dibayar petani (Ib) sebesar 0,01 persen. Catatan BPS, pada Maret 2017 NTP Provinsi DKI Jakarta mengalami penurunan NTP terbesar hingga 1,37 persen dibandingkan penurunan NTP provinsi lainnya. Sebaliknya, NTP Papua Barat mengalami kenaikan tertinggi yang 0,58 persen dibandingkan kenaikan NTP daerah lain.

Sementara itu, di sisi lain juga terjadi deflasi perdesaan di Indonesia sebesar 0,1 persen yang disebabkan oleh turunnya dua dari tujuh kelompok penyusun indeks konsumsi rumah tangga. Kedua kelompok yang mengalami penurunan adalah bahan pangan dan transportasi. Sedangkan Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) nasional pada Maret 2017 sebesar 108,93 atau turun 0,63 persen dibanding raihan pada bulan sebelumnya.

"NTP Maret 2017 kurang menggembirakan yakni 99,95 tidak impas di bawah 100. NTP untuk seluruh subsektor baik tanaman pangan, hortikultura, bahkan nelayan alami penurunan. Kenaikan NTP hanya untuk budidaya ikan. Kejadian di seluruh subsetor sama, NTP turun karena penurunan harga yang diterima petani lebih besar daripada penurunan indeks harga yang dibayar petani. Akhirnya NTP turun," jelas Suhariyanto, Senin (3/4).

Suhariyanto mengungkapkan, kenaikan NTP untuk subsektor budidaya perikanan budidaya terjadi terutama karena adanya kenaikan harga jual komoditas perikanan air payau seperti bandeng dan nila. Subsektor lain yang mengalami penurunan NTP adalah tanaman pangan khususnya palawija seperti jagung dan ubi jalar, hortikultura seperti cabai rawit dan cabai merah, tanaman perkebunan rakyat khususnya komoditas karet dan kako, dan subsektor peternakan khususnya kambing dan telur ayam ras.

Tak hanya itu, subsektor perikanan juga mengalami penurunan NTP khususnya komoditas udang dan ikan cakalang. "Nilai tukar petani kita didonimasi atau kalau dari harga cabai. Cabai rawit merah turun tajam dan masih berlangsung. Konsumsi cabai lebih tinggi dibanding bawang. Masih kalah dengan penurunan harga cabai, jadi NTP untuk hortikultura tetap mengalami penurunan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement