REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tiga tahun berusaha dan gagal boleh jadi membuat orang lelah dan malas untuk berusaha kembali. Lain halnya dengan Onih (39 tahun), ibu dua anak yang menuai kegagalan dalam usaha budi daya lele memilih untuk memulai kembali usaha anyaman keset dengan modal terbatas.
“Waktu itu modal saya abis, saya muter-muter cari ide, apa ya yang bisa dibikin dengan modal kecil. Akhirnya saya mutusin untuk mulai nganyam keset,” cerita Onih ketika ditanya bagaimana ia memulai bisnisnya.
Onih adalah salah seorang anggota Amartha Mikro Fintek, perusahaan Peer to Peer Lending Platform yang bergabung sejak 2012. Awalnya, Onih hanya seorang buruh anyam yang menerima upah Rp 1.500 per keset. Dengan bantuan modal pembiayaan dari Amartha, Onih kini telah berhasil mengembangkan usahanya, bahkan mempekerjakan tujuh orang buruh anyam.
Pahit Manis Usaha
Pertama kali terjun ke dunia usaha Onih memutuskan berjualan gorengan dan nasi uduk. Ia memulai bisnisnya dengan modal Rp 500 ribu dari Amartha. Setiap pagi ia mengirimkan dagangannya ke sekolah-sekolah terdekat. Hari demi hari, ia melihat penjualannya justru menurun karena banyaknya penjual gorengan dan nasi uduk.
Karena itulah ia memutuskan banting stir. Onih memulai budi daya ikan lele bersama suaminya yang bekerja sebagai satpam. Untuk membesarkan usahanya Onih menginvestasikan modal dari Amartha di tahun kedua, ketiga, dan kempat, masing-masing Rp 1,5 juta, Rp 3 juta dan Rp 3 juta untuk budidaya lele.
Sayangnya, pada tiga tahun pertama menjalankan usaha lele, ikannya habis! Lele milik Onih gagal panen dan banyak yang mati karena kemarau panjang. Dengan sedikit sisa modal, ia memutar otak. Bagaimana caranya terus mandiri dan membantu keuangan suami.
Gaji suami Onih memang lumayan, sekitar Rp 3 juta, namun ia ingin pendapatan yang lebih agar anak-anaknya bisa berkuliah. Karena itu ia mulai menganyam keset lagi. Kali ini bukan menjadi buruh anyam melainkan membangun usaha keset sendiri.
“Seperti keset, orang awalnya pasti selalu melihat sulit untuk dikerjain, tetapi kalau udah biasa, akhirnya ya sederhana. Di usaha juga gitu, proses pasti ada. Lama-lama juga... ya lumayan dah,” cerita Onih mengalir sementara jari-jarinya lincah menganyam satu demi satu perca di atas karung goni.
Usaha ini diawali dengan modal kecil. Onih mengambil kain perca dari Cilangkap dan membeli karung goni sebagai media anyam. Di awal usaha ia baru mampu memenuhi satu kodi setiap minggunya. Sekarang ini, dengan tujuh orang buruh anyam, ia sudah bisa memenuhi permintaan sampai sembilan puluh keset per minggunya.
Dari usaha yang dibangunnya, Onih berhasil memperoleh pendapatan sebesar Rp 450 ribu per minggu. Pendapatan tersebut ia putar lagi untuk membeli bahan baku, membayar buruh, sisanya ditabung untuk sekolah anak.
Onih ingin sekali mengembangkan usahanya dan bisa berbelanja kain perca dan karung goni langsung dari Tanah Abang. Tujuannya tidak lain untuk menurunkan biaya bahan baku.
Ia ingin sekali memiliki gudang di samping rumah agar dapat menyetok kain perca, sehingga tidak perlu sering berbelanja. Selain agar tidak repot, dengan begitu siapapun orang yang mau ikut menganyam bisa bergabung.
"Selama ini saya kadang terpaksa nggak nerima karena emang keabisan bahan. Selain itu juga, saya terpaksa ngerem karena kalau tetep dikerjain saya belum punya cukup modal untuk bayar upahnya,” tutur Onih.
Onih adalah sosok yang peduli dengan lingkungan sekitar. Ia selalu berpikir untuk bisa mengembangkan usahanya dan mempekerjakan lebih banyak orang. Selama ini Onih telah mengajak serta saudaranya untuk menganyam keset. Dengan usahanya yang terus berkembang, ia ingin melihat lebih banyak lagi ibu yang tidak menganggur dan ikut menganyam bersama dirinya. Menurut Onih dengan menciptakan peluang, ia bisa mengajak orang lain lebih maju, seperti dirinya sekarang ini.
Sebagai ibu dari dua orang anak, Onih juga rajin menabung di Amartha demi pendidikan anak-anaknya. Anak pertamanya berusia 23 tahun, sebelumnya bekerja sebagai OB di sekolah swasta. Sekarang ini anaknya diangkat sebagai tenaga pendidik tambahan di bidang seni karena keahliannya. Sementara anak keduanya masih duduk di bangku SMK.
Terhadap anak pertama, ia sangat mendukung keinginannya untuk kuliah. Untuk anaknya yang masih SMK, ia tidak segan membayarkan kebutuhan ekstrakurikuler yang digemari anaknya, Paskibra. Ia bangga sekali ketika mengetahui tim Paskibra sekolah anaknya berhasil menjuarai perlombaan setingkat kabupaten.