Rabu 29 Mar 2017 15:58 WIB

Asam Manis Usaha Tahu dengan Fintech

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Budi Raharjo
Nyai Muhayati
Foto: Amartha Mikro Fintek
Nyai Muhayati

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Asam-manis usaha dialami Nyai Muhayati (48 tahun) dan almarhum suaminya sejak memulai usaha tahu pada 1984. Pernah usahanya rugi sama sekali karena adonan tahunya gagal.

Karena modalnya habis, Nyai berutang pada tukang kacang kedelai dan berjanji akan mengembalikannya sesegera dagangannya laris manis. “Yang penting mah kita dapet kepercayaan dari orang lain,” kata Nyai, salah satu anggota Amartha Mikro Fintek, perusahaan Peer to Peer Lending Platform yang fokus pada pembiayaan mikro.

Asamnya usaha tidak menjadi halangan bagi Nyai, menurut dia, selama ada kemauan dan kerja keras, modal akan datang. Seperti relasinya dengan Amartha Mikro Fintek yang berjalan empat tahun, Nyai telah mampu memproduksi tahu lebih kurang empat ribu potong per harinya, ia mampu meraih omset Rp 1 juta per dua hari. Lebih lagi, ia mampu menggaji empat orang anak buah.

Rintis usaha tahu

Nyai pertama kali mengenal usaha tahu dari mertuanya yang dulu adalah seorang pedagang tahu yang membuat dan menjual sendiri tahunya. Saat berkeluarga, Nyai dan suami memang tidak langsung usaha tahu karena modal usaha yang lumayan. Kedelai dan alat-alat untuk membuat tahu belum juga ia mampu beli. Usahanya pertama kali diawali dengan membuat oncom (makanan tradisional yang berasal dari ampas tahu).

Semakin lama tabungan Nyai dan suami semakin meningkat. Ia putuskan untuk memulai usaha tahu. Ia membuat dan menjual tahu bersama dengan suaminya. Nyai memiliki empat orang anak. Suaminya meninggal ketika anaknya masih remaja bahkan anak terakhirnya masih usia SD. Tidak ada pilihan lain, Nyai harus terus bekerja keras demi menghidupi diri dan anaknya.

Usaha tahu Nyai sekarang dijalankan bersama dua orang anaknya, karena satu orang anaknya meninggal sementara satu anaknya yang lain memilih untuk menjadi buruh bangunan. Mereka bekerja kerjas untuk menghasilkan 4.000 tahu per produksi, serta menjualnya di keesokan harinya.

“Saya pernah nggak dapet untung sama sekali, boro-boro untung, orang tahunya nggak jadi sama sekali. Kalau diuangin kedelainya aja abis Rp 300 ribu. Kuli kan tetap harus dibayar walaupun juga tahunya gagal,” ujar Nyai mengingat ketika usahanya sedang benar-benar payah.

Akan tetapi, ia masih bersyukur, selama ini ia memiliki kepercayaan dari tukang kacang kedelai langganannya. Akhirnya, ia memutuskan berhutang karena jangan sampai besok tidak produksi karena tidak ada uang. Ia berpikir dapurnya harus tetap ngebul, karena dari sembilan orang yang hidup bersamanya di rumah (anak dan cucu), Nyailah yang selama ini berkontribusi besar. Nyai juga tidak pernah lupa, ada saat manis, saat usahanya bisa memberinya banyak pemasukan. Hal tersebut ketika bulan Ramadhan dan setelah Lebaran. Angka permintaan pasar meningkat, Nyai lincah menyambut momen tersebut.

“Di bulan Ramadhan dan habis Lebaran, alhamdulillah, itu permintaan tahu banyak. Seharinya saya bisa bikin sampe 50 kg–80 kg, bahkan pernah juga bikin sampe 1 kuintal,” senyum terkembang selama Nyai bercerita.

Bukan tanpa tantangan tentu, saat permintaan banyak pekerja Nyai yang mayoritas berusia muda justru memilih untuk tidak bekerja dulu karena main dengan sebayanya. Nyai segera mencari solusi lain, ia mengumpulkan orang-orang dengan usia tua untuk menjadi pekerja dadakan. Di masa itu ia mampu menggaji pekerjanya hingga dua kali lipat, yaitu Rp 200 ribu.

“Alhamdulillah, karena permintaan emang ada dan rezekinya juga ada. Ketemu aja itu mah untuk bayar kuli,” ujar Nyai.

Di masa ini, Nyai bijak. Kelebihan keuntungan langsung ia belikan bahan modal untuk disimpan. Ia membeli kacang kedelai dengan bobot lebih dari biasanya. Ia juga memastikan kayu bakar (sebagai bahan masak utama) tersedia hingga satu-dua mobil kol.

Modal

Sepanjang usahanya, Nyai merasa modal bukan menjadi halangan. Ia pertama kali membangun usaha dari hasil tabungan. Selain itu karena kemampuan Nyai menjaga amanah, ia dipercaya saja oleh tukang kacang kedelai untuk berhutang di masa darurat. Semenjak mengenal Amartha, Nyai pun merasa sangat senang. Bergabung selama empat tahun Nyai merasa Amartha sangat membantu usahanya untuk terus tumbuh.

Di awal ia mendapatkan Rp 1 juta yang ia gunakan untuk membeli kacang kedelai. Di tahun kedua, dengan modal pembiayaan Rp 2 juta ia membeli kacang, kayu, garam, dan kebutuhan usaha lainnya. Dengan pembiayaan maksimal Rp 3 juta di tahun ketiga dirinya membeli dua karung kacang kedelai dan drum baru untuk memasak.

Nyai adalah anggota yang menyadari betul bahwa pembiayaan dari Amartha adalah sebuah amanah. Ia mengaku tidak mau mengambil pembiayaan dari lembaga lain karena untuk usaha berkembang cukup satu saja tetapi terus meningkat.

Di tahun terakhir ini Nyai mendapatkan pembiayaan maksimal Rp 4,5 juta, ia gunakan untuk membeli mesin diesel. Selama empat tahun bersama Amartha, Nyai merasa modal bukanlah halangan untuk memajukan usaha. Lebih lagi menurut Nyai, Amartha sangat memperhatikan anggotanya. Ia senang dengan program seperti Sembako yang memungkinkan dirinya mendapatkan sembako dengan harga murah dan dapat dicicil. “Sangat meringankan!” imbuh Nyai.

Cita-cita ke depan

Dengan pembiayaan selanjutnya, Nyai masih memiliki cita-cita untuk mengembangkan usaha. Ia ingin meluaskan bengkel tahunya, menambah karyawan, dan menambah produksi tahu. Apalagi menurut Nyai pasar usaha tahu masih banyak, jadi masih bisa untuk meningkatkan jumlah produksi. Meski sudah tidak muda lagi, Nyai juga masih ingin produktif, dengan produktif ia bisa tetap mandiri, tidak bergantung pada orang lain.

"Mudah-mudahan Allah terus tambahin umur saya, jadi saya bisa ngembangin usaha lagi,” kata Nyai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement