REPUBLIKA.CO.ID, TULUNGAGUNG -- Perajin batik tulis di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur mengeluhkan minim dan sulitnya pengurusan hak cipta sehingga motif batik hasil karya mereka mudah dijiplak oleh kompetitor sesama perajin batik.
"Memang tidak mudah mengurus hak cipta. Jatah sertifikasinya tidak banyak," kata pengusaha batik dengan merek dagang "Satrio Manah", Sriyanah di Tulungagung, Selasa (22/3).
Sebagai salah satu pengusaha batik berskala besar di Tulungagung, Sriyanah mengaku mendapat beberapa kuota sertifikasi hak cipta untuk mematenkan kreasi motif batiknya.
Namun ia mengaku yang beberapa diberikan oleh lembaga kementerian itu tak banyak dimanfaatkan, karena praktik penjiplakan tetap bisa dilakukan dengan hanya mengubah sedikit bentuk, ukuran ataupun variasi dari motif yang asli.
"Beberapa motif batik yang kami buat sudah diurus sertifikasi hak ciptanya, tapi nyatanya tetap saja dijiplak oleh orang lain," katanya.
Srianah dan suaminya yang sama-sama desainer batik, mengaku hafal dan bisa mengidentifikasi motif batik hasil karyanya yang dijiplak, karena mereka memiliki corak khusus dan tahu belum ada produk batik lain dengan motif tersebut.
"Setiap tahun tren motif batik selalu berubah, dan selama ini kami sudah buat ribuan motif berbeda disesuaikan trenseter terbaru. Dan sebagian besarnya juga tidak dipatenkan karena alasan yang sama," ujar Suami Sriyanah.
Dikonfirmasi, Kasi Tertib Niaga Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tulungagung Budianta mengakui banyak motif yang belum memiliki hak cipta sebagai identitas kepemilikan motif, sehingga berisiko dijiplak ataupun lainnya. "Memang batik Tulungagung perkembangannya cukup pesat. Namun sayang, banyak motif yang belum memiliki hak cipta," katanya.
Budianta mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat perajin batik masih enggan melindungi motif batik karya mereka, di antaranya karena biaya (mahal), lamanya pembuatan hak cipta, serta penyusunan narasi dari karya yang dibuat.
Selain itu, kata dia, perajin khawatir kurang bersaing lantaran motif batik itu tak laku lagi karena perkembangan batik saat ini yang semakin cepat. "Saat ini, minat untuk mengurus tersebut cukup minim karena dua tahun motif batik sudah ganti," katanya.
Padahal menurut Budianta, dengan adanya hak cipta, maka tidak mudah ditiru pembatik lain dan sudah mendapatkan perlindungan hukum.
Di samping itu, kata dia, hak cipta sudah ada ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang Hak Cipta. Budianta mencontohkan dalam mendapatkan hak cipta, para pembuat batik terlebih dulu memiliki motif, narasi atau makna motif batik, surat penyataan murni ciptaannya.
Dari data Disperindag Tulungagung, hingga 2017 baru ada 12 motif batik yang sudah mengantongi hak cipta.