REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dianggap masih belum berpihak kepada konsumen. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memandang, salah satu indikatornya adalah jumlah aduan konsumen yang masih minim. Minimnya aduan masyarakat ini diyakini sebagai wujud 'takutnya' konsumen dalam memberikan masukan kepada perusahaan selaku produsen.
Koordinator Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI Sularsi menilai, kehadiran pemerintah yang kurang dalam bentuk regulasi dan edukasi konsumen membuat kedudukan konsumen masih di bawah produsen. Padahal, seharusnya posisi konsumen setara dengan produsen sebagai penggerak ekonomi. Menurutnya, sudah saatnya pemerintah menjadikan konsumen sebagai subyek alih-alih hanya obyek penderita yang dimanfaatkan oleh produsen dalam mencari untung.
Sularsi mengungkapkan, Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) di Indonesia masih rendah. Hasil survei teranyar di awal 2017, nilai IKK Indonesia masih 31. Angka ini masih jauh dibanding raihan negara-negara Eropa di mana IKK-nya menyentuh level 50. Ia menjelaskan, di level 30-an konsumen sebatas 'nerimo' atau belum berani melakukan aduan atas produk yang ia konsumsi. Sementara di level 50 ke atas, diartikan bahwa konsumen sudah berani melakukan pengaduan dan tuntutan bila mengalami masalah dengan produsen.
"Yang terjadi di Indonesia, ketika konsumen melakukan aduan, malah dibalas oleh si perusahaan dengan pasal pencemaran nama baik. Kasus ini terus saja berulang, sehingga konsumen merasa takut atau enggan melakukan aduan. Pemerintah pun perannya minim sekali," ujar Sularsi, di Jakarta, Selasa (21/3).
Sularsi menambahkan, untuk menaikkan keberdayaan konsumen memang perlu dibenahi edukasi konsumen. Menurutnya, edukasi konsumen sendiri merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan perusahaan. Perusahaan, lanjutnya, memiliki tanggung jawab untuk memberikan pemahaman yang benar atas produk yang ia produksi dan memang harus siap menerima aduan. Tak hanya itu, Sularsi juga mengkritisi berjalannya Standar Nasional Indonesia (SNI) yang terkesan minim pengawasan di lapangan. Ia mendesak pemerintah agar setiap prusahaan benar-benar menerapkan SNI agar produk yang sampai ke tangan konsumen tidak mengecewakan.
"Perusahaan harus memberikan edukasi juga. Pemerintah pun, selain edukasi juga harus menjalankan fungsi kontrol yang jalan. Jangan ada diskriminasi atas perusahaan tertentu. Contoh paling nyata, Lion (maskapai penerbangan). Begitu banyak aduan namun pemrintah seolah tak bisa bertindak tegas," ujar dia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo ingin ada efektivitas kehadiran negara untuk melindungi konsumen termasuk menegakkan hukum dan pengawasan. Hal itu disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memimpin rapat terbatas bertopik Perlindungan Konsumen di Kantor Presiden Jakarta, Selasa.
"Yang perlu kita perhatikan dan harus kita perhatikan adalah perlindungan konsumen ini sangat terkait dengan kehadiran negara untuk melindungi konsumen secara efektif," kata Presiden.
Kepala Negara ingin efektivitas kehadiran negara dilihat dari sejauh mana negara memenuhi norma dan standar serta dibantu oleh para produsen, dan sejauh mana pengawasan dan penegakan hukum juga berjalan secara efektif. Ia sendiri mencatat data yang menunjukkan tingkat kepatuhan produsen terhadap kesesuaian standar produk dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) ternyata masih rendah. Sampai saat ini hanya 42 persen barang yang beredar di pasaran yang sesuai dengan SNI.
Baca juga: Jokowi Sebut Kepatuhan Produsen Sesuai SNI Rendah