Senin 20 Mar 2017 16:24 WIB

Kepatuhan Penyelenggara Negara Lapor Harta Capai 100 Persen

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
 Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan pemaparan saat menjadi pembicara utama dalam peluncuran laporan ketimpangan di Jakarta, Kamis (23/2).
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan pemaparan saat menjadi pembicara utama dalam peluncuran laporan ketimpangan di Jakarta, Kamis (23/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan akhirnya merilis tingkat kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sudah menyentuh 100 persen. Berdasarkan hasil verifikasi bukti pengiriman/tanda terima formulir dan konfirmasi kepada 11 unit eselon I, dari 187 Penyelenggara Negara Wajib Lapor (PNWL) yang sebelumnya disebut belum sampaikan LHKPN, 112 orang di antaranya telah laporkan LHKPN kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sementara itu, 75 orang sisanya diusulkan untuk dihapuskan dari daftar PNWL-LHKPN Kementerian Keuangan. Penghapusan ini lantaran beberapa di antaranya tak termasuk wajib lapor seperti yang dicantumkan dalam peraturan, sedang menjalani tugas belajar, pensiun, meninggal dunia, atau sudah non-PNS.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memang mengaku kecewa lantaran baru 99,43 persen tingkat kepatuhan Kemenkeu dalam penyampaian LHKPN. Sri kemudian memberikan waktu tiga hari hingga akhir pekan lalu agar seluruh pegawai yang belum serahkan LHKPN segera menyerahkan laporannya kepada KPK. "Kalau dia mutasi, promosi saya bisa maklumi. Saya minta posisisnya dimana. Katanya ada mutasi, promosi, jadi diberi waktu 2 bulan. Tapi kalau yang tidak patuh, sudah ada diposisi, saya beri waktu 3 hari," ujar Sri pekan lalu.

Menyusul rumitnya pelaporan LHKPN, Kementerian Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkaji rencana penyederhaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak. Rencananya, pengisian data LHKPN dan SPT pajak akan disatukan ke dalam satu dokumen atau formulir.

Ide ini muncul dari Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menilai betapa ribetnya berbagai kewajiban administrasi yang harus dilaporkan oleh penyelenggara negara termasuk pegawai negeri sipil (PNS). KPK sendiri sebetulnya sudah mempermudah pengisian LHKPN dari sebelumnya manual menjadi sistem online. Namun, Sri tetap menilai bahwa sudah saatnya pengisian LHKPN dan SPT pajak disatukan. Apalagi, menurutnya, pelaporan LHKPN dan SPT pajak memiliki tujuan yang sama yakni mencatat kekayaan dan kepemilikan harta penyelenggara negara. "Kalau manual kan formulir berjilid-jilid. Banyak sita waktu cocokkan apakah hartanya sama. Saya bilang, kenapa tidak disamakan saja (LHKPN) dengan SPT," ujar Sri.

Sri mengatakan, setiap tahunnya pejabat pemerintah harus melaporkan berbagai kewajiban administrasi seperti LHKPN, SPT pajak, dan e-performance. Itu pun belum laporan-laporan lain yang harus dilaporkan. "Dalam setahun, berapa hari kerja kita dan berapa hari yang kita habiskan untuk mengurus sesuatu yang sifatnya birokratis," ujar Sri.

Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo mendukung ide Sri Mulyani untuk menyatukan pelaporan LHKPN dan SPT pajak. Hal tersebut diyakini akan menekan waktu dan mengefisienkan pengumpulan data secara terintegrasi antara Kemenkeu dan KPK. Hanya saja, kata Agus, meski dilakukan penyatuan dokumen antara LHKPN dan SPT pajak, petugas pajak dan KPK tetap harus turun ke lapangan untuk memastikan bahwa angka-angka yang dilaporkan sesuai dengan fakta.

"Saya setuju saja kalau disatukan (LHKPN) dengan SPT. Tapi saya tetap memeriksa detil kekayaan. Justru itu yang lebih penting dibanding hanya memasukkan data dan registrasi. Nanti kami ingin sinkronisasi dengan SPT dan semoga bisa dilakukan dengan baik," ujar Agus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement