REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik soal perubahan status kontrak pertambangan antara PT Freeport Indonesia (PTFI) dan pemerintah belum mencapai titik temu. Ribuan karyawan perusahaan asal Amerika Serikat (AS) di Papua itu pun terancam dirumahkan.
Kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran meningkatnya kredit bermasalah (non performing loan/NPL) perbankan. Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) David Sumual pun menyatakan, NPL di Papua kemungkinan meningkat namun belum tentu memengaruhi kondisi kredit nasional.
"Belum tentu juga, karena kondisi di sana juga masih negosiasi, tapi saya pikir Freeportnya sendiri tidak akan berpengaruh signifikan dibandingkan sektor perbankan lainnya," ujarnya kepada Republika.
Ia menambahkan, daripada ke perusahaan Freeport, perbankan lebih banyak memberikan kredit ke sektor yang berhubungan dengan pertambangan Freeport, seperti bahan peledak, konstruksi, dan lainnya.
Menurutnya, dari sisi komoditas yang dihasilkan Freeport juga tidak besar. Hanya saja 30 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) memang dari Freeport.
"Jadi dari sisi kredit macet saya pikir belum tentu. Untuk kredit konsumer di Papua mungkin lumayan berpengaruh, tapi total untuk untuk perbankan nasional. Saya pikir tidak ada (pengaruh)," tambahnya.