REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional UI Prof Hikmahanto Juwana, ancaman Freeport yang akan membawa pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional dalam waktu 120 hari ke depan, secara terbuka akan menjadi bumerang bagi Freeport. Sebab, menurut dia, ancaman tersebut akan membangkitkan rasa nasionalisme bagi publik Indonesia.
"Publik marah. Dalam situasi demikian justru pemerintah akan mendapat dukungan. Publik pun tidak rela bila pemerintah mundur karena ancaman Freeport, bahkan berkompromi," kata Hikmahanto dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Kamis (23/2).
Menurut dia, masyarakat Indonesia akan terngiang dengan pelajaran sejarahnya saat VOC--sebuah perusahaan Belanda--yang mampu menaklukan kerajaan-kerajaan di Nusantara. 'Freeport akan dipersepsi sama oleh publik Indinesia sebagai VOC di era digital," ucapnya.
Freeport juga, kata Hikmahanto, tidak bisa memainkan tenaga kerjanya yang dirumahkan untuk melawan pemerintah dengan alasan efisiensi. Freeport juga tidak bisa memainkan isu Papua, bahkan kehadiran pasukan marinir di AS untuk mengancam pemerintah Indonesia.
Dikatakan Hikmahanto, ada tiga alasan untuk ini. Pertama dalam kisruh kali ini pemerintah sudah bijak untuk memberi jalan keluar bagi Freeport dengan menerbitkan PP 1 Tahun 2017. Pemerintah tidak melanggar Kontrak Karya sebagaimana dituduhkan oleh Freeport. "Kenyataannya adalah Freeport ingin menang sendiri dan menuntut pemerintah untuk tunduk pada Kontrak Karya dan mengabaikan Pasal 170 UU Minerba," ucapnya.
Kedua, saat ini, pemerintahan di Indonesia dipimpin oleh seorang yang berlatar belakang pengusaha layaknya Presiden AS Donald Trump. Presiden Jokowi seperti Donald Trump dalam membuat kebijakannya akan menggunakan slogan Indonesia first.
Ketiga, Freeport tidak bisa menggunakan tangan pemerintahnya karena memang posisi Freeport tidak terlalu baik. Pemerintah Indonesia tidak sedang mendzalimi perusahaan tambang tersebut. Buktinya perusahaan tambang pemegang kontrak karya (KK) lainnya mengikuti aturan yang dibuat oleh pemerintah.
"Harusnya Freeport paham bahwa negeri ini sudah mengalami pahitnya penjajahan di masa lalu sehingga pendekatan dengan ancaman ataupun mendikte, bahkan merongrong kedaulatan bukanlah pendekatan yang tepat bila Freeport tetap akan berbisnis di Indonesia," tandasnya.