Selasa 21 Feb 2017 03:23 WIB

Pemerintah Rapatkan Barisan dengan DPR Hadapi Freeport

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Budi Raharjo
Sebuah mobil melintas di kawasan Grasberg Mine milik PT. Freeport Indonesia (PTFI ) di Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Minggu (15/2).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Sebuah mobil melintas di kawasan Grasberg Mine milik PT. Freeport Indonesia (PTFI ) di Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Minggu (15/2).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan melakukan pertemuan tertutup dengan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto didampingi dengan Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu dan Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widhya Yudha. Salah satu agenda pertemuan adalah membahas perkembangan terkini polemik antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia yang menolak perubahan status kontrak.

Usai pertemuan, Agus menjelaskan, pada prinsipnya pemerintah menghormarti Kontrak Karya (KK) yang diteken pemerintah dan Freeport pada 1991 silam. Namun, di atas kesepakatan yang tertuang dalam KK, dia menegaskan, pemerintah dan perusahaan yang beroperasi di Indonesia tetap harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang ada, dalam hal ini adalah Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Mengacu UU Minerba dan ketentuan yang terbaru, Freeport harus tunduk pada izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Artinya, Freeport harus berkomitmen untuk melanjutkan pembangunan fasilitas pengolahan dan permunian atau smelter, melanjutkan proses divestasi, dan poin-poin penting yang tertuang dalam IUPK. "Kita hargai kontrak namun tidak boleh abaikan UU," ujar Agus di kompleks parlemen, Senin (20/2).

Menanggapi ancaman Freeport untuk membawa perselisihan soal status kontrak ke arbitrase, Agus tak ambil pusing. Menurut dia, sejak awal pemerintah sudah berjalan di jalur tanpa ada keinginan untuk bersinggungan dengan Undang-Undang. "UU Minerba mengharuskan punya smelter. Nah sekarang (perizinan yang baru), tetap harus bangun smelter dengan jangka waktu, divestasi saham, dan progres smelter dimonitor pemerintah," ujar dia.

Agus juga menambahkan, revisi UU Minerba memang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Namun, perubahan tentang kebijakan pembangunan smelter tidak bisa diubah begitu saja dalam waktu singkat. Ia menilai bahwa apa yang ditawarkan pemerintah saat ini merupakan solusi terbaik baik bagi pemerintah atau PTFI.

"Dalam bisnis itu kan ada yang merah, ada yang hitam, dan yang putih dan kita harus cari titik temunya. Yang disampaikan Pak Menteri (ESDM) adalah titik temu," katanya.

Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu menambahkan, bila dilihat lebih dalam, sebetulnya argumen Freeport yang bersikukuh untuk berkiblat pada KK tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, di dalam UU Minerba yang terbit tahun 2009 sudah jelas mengatur pembangunan smelter hingga 2014. Lambatnya pembangunan smelter kemudian membuat pemerintah memberikan kelonggaran hingga Januari 2017 ini.

Progres pembangunan smelter yang tidak jauh lebih baik lantas membuat pemerintah dengan tegas meminta pemegang KK mengubah status kontraknya menjadi IUPK. "Eh enggak selesai juga kan. Nah sekarang pemerintah cari solusi supaya sektor ini nggak mandek. Terbitlah PP 1 Tahun 2017. Itu kan semua pihak harus hormati itu," ujar Gus.

Gus menambahkan, posisi Indonesia sebetulnya cukup kuat untuk menghadapi arbitrase Freeport. Apalagi, ia memandang bahwa meniliki berdasarkan yurisprudensi, maka UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba berkedudukan kuat. Gus menilai, sejak 2009 hingga saat ini, aturan yang bersifat mengikat ini tidak mengalami kendala yang berarti.

"Sejak dulu tidak ada yang keberatan kan? Berarti bisa diterima. Kalau itikad baik dari Freeport ada, mestinya IUPK diterima, dan tidak ada pengurangan karyawan," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement