Senin 20 Feb 2017 16:39 WIB

Menteri Jonan: Pemerintah Juga Bisa Bawa Freeport ke Arbitrase

Rep: Sapto Andika Candra / Frederikus Bata/ Red: Nur Aini
Bijih tambang yang dibawa dari tambang Freeport, Grasberg, menggunakan truk lalu dikirim ke pabrik pengolahan untuk dihancurkan menjadi pasir yang sangat halus.
Foto: Republika/Maspril Aries
Bijih tambang yang dibawa dari tambang Freeport, Grasberg, menggunakan truk lalu dikirim ke pabrik pengolahan untuk dihancurkan menjadi pasir yang sangat halus.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengaku percaya diri menghadapi ancaman PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk membawa perselisihan soal perubahan status kontrak ke arbitrase. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menilai, polemik tentang tidak sekatanya pemerintah dan Freeport soal perubahan status kontrak seharusnya bisa dirundingkan lebih dalam.

Ia menyebutkan, perkara yang memanas belakangan ini sebetulnya merupakan bagian dari pembicaraan bisnis antara pemerintah dan perusahaan. Namun, Jonan menyadari bahwa langkah untuk membawa perkara ini ke arbitrase merupakan hak masing-masing pihak yang terlibat dalam sengketa, termasuk dalam hal ini Freeport.

"Harus PD (percaya diri) dong. Masa nggak PD. Kan ini negara berdaulat. Bukan hanya Freeport lho yang bisa membawa ke arbitrase, pemerintah juga bisa," ujar Jonan usai pertemuan dengan pimpinan DPR, Senin (20/2).

Menyinggung soal potensi kemenangan Indonesia hadapi gugatan Freeport, Jonan melihat bahwa kedua pihak yang terlibat sama-sama mencari jalan yang tidak melanggar aturan dan perundang-undangan yang ada. Selain, kata Jonan, tetap menghormati kontrak yang sebelumnya sudah ada.

Jonan optimistis, sebagai negara berdaulat maka Indonesia tetap mengacu pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan turunanya. Beleid turunan sepertiperaturan pemerintah (PP), peraturan menteri (permen), dan keputusan menteri (kepmen) seluruhnya tetap mengacu pada UUD 1945. "Semua perjanjian tentu harus mengikuti landasannya konstitusi. Kan nggak bisa orang bikin perjanjian atau perikatan perdata menyimpang dari konstitusi. Setiap negara berdaulat berhak mengelola SDA sesuai konstitusi masing-masing," ujar dia.

Dalam keterangan pers yang digelar oleh Freeport Indonesia, perusahaan induknya yakni Freeport McMoran Inc menegaskan, untuk memberikan waktu hingga empat bulan ke depan untuk menyelesaikan perselisihan ini hingga ada kata sepakat. Chief Executive officer (CEO) Freeport McMoran Inc Richard C Adkerson menerangkan posisi PT Freeport Indonesia dalam kemelut dengan pemerintah.  

Richard mengatakan, Freeport dalam keadaan tidak bisa menerima status izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan harus melepaskan kontrak karya. Dengan demikian perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu hingga saat ini belum bisa mengekspor konsentrat.

"Saya kirimkan surat ke Menteri ESDM (Pada 17 Januari 2017) yang menunjukkan perbedaan antara KK dan IUPK. Dan di situ ada waktu 120 hari di mana pemerintah dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan ini," kata Richard.

Ia melanjutkan, jika kedua pihak tidak menemukan solusi terbaik, maka Freeport akan menggunakan haknya ke badan hukum internasional. Waktu 120 hari sejak Jumat (17/2).

"Jadi hari ini Freeport tidak melaporkan arbitrase, tapi kita memulai proses untuk melakukan arbitrase," ujar Richard.

Dalam PP 1 Nomor 17, Freeport tidak bisa melakukan ekspor konsentrat tanpa mengakhiri KK alias berstatus IUPK.  Freeport melihat hal ini menimbulkan konsekuensi yang tidak menguntungkan untuk semua pemangku kepentingan termasuk penangguhan investasi modal, pengurangan signifikan dalam pembelian barang dan jasa domestik, kemudian hilangnya pekerjaan bagi para kontraktor dan karyawan.  

"Karena kami terpaksa menyesuaikan pengeluaran kegiatan usaha kami sesuai dengan pembatasan produksi. Saya tetap berharap dapat mencapai jalan keluar yang disepakati oleh perusahaan kami dengan pemerintah," ujar Richard.

Baca juga: Pemerintah Diminta Tegas Hadapi Freeport

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement