Senin 20 Feb 2017 12:34 WIB

Freeport Beri Waktu 120 Hari kepada Pemerintah RI

Rep: Frederikus Bata/ Red: Nidia Zuraya
Ratusan karyawan PT Freeport Indonesia berdemonstrasi di Kantor Bupati Mimika, Papua, Jumat (17/2).
Foto: Antara/Vembri Waluyas
Ratusan karyawan PT Freeport Indonesia berdemonstrasi di Kantor Bupati Mimika, Papua, Jumat (17/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Chief Executive officer (CEO) Freeport McMoran Inc Richard C Adkerson menerangkan, posisi PT Freeport Indonesia dalam kemelut dengan pemerintah. Richard mengatakan PTFI dalam keadaan tidak bisa menerima status izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan harus melepaskan kontrak karya.  

Dengan demikian perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu hingga saat ini belum bisa mengekspor konsentrat. Richard menuturkan pihaknya telah mengirimkan surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan soal tindak lanjut kemelut ini. 

"Saya kirimkan surat ke Menteri ESDM (pada 17 Januari 2017) yang menunjukkan perbedaan antara KK dan IUPK. Dan disitu ada waktu 120 hari dimana pemerintah dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan ini," kata Richard saat memberikan keterangan pers di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (20/2).

Ia melanjutkan, jika kedua pihak tidak menemukan solusi terbaik maka Freeport akan menggunakan haknya ke badan hukum internasional. Waktu 120 hari sejak Jumat (17/2). 

"Jadi hari ini Freeport tidak melaporkan arbitrase, tapi kita memulai proses untuk melakukan arbitrase," ujar Richard menegaskan. 

Dalam PP 1 Nomor 17, PTFI tidak bisa melakukan ekspor konsentrat tanpa mengakhiri KK alias berstatus IUPK. Freeport melihat hal ini menimbulkan konsekuensi yang tidak menguntungkan untuk semua pemangku kepentingan termasuk penangguhan investasi modal, pengurangan signifikan dalam pembelian barang dan jasa domestik, kemudian hilangnya pekerjaan bagi para kontraktor dan karyawan.  

"Karena kami terpaksa menyesuaikan pengeluaran kegiatan usaha kami sesuai dengan pembatasan produksi. Saya tetap berharap dapat mencapai jalan keluar yang disepakati oleh perusahaan kami dengan pemerintah," kata Richard. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement