Rabu 01 Feb 2017 13:51 WIB

BPS Ungkap Kaitan Radikalisme dengan Ketimpangan Ekonomi

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto (tengah) memberikan keterangan kepada wartawan terkait inflasi pada bulan Januari di Gedung BPS Jakarta, Rabu (1/2).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto (tengah) memberikan keterangan kepada wartawan terkait inflasi pada bulan Januari di Gedung BPS Jakarta, Rabu (1/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) merilis nilai rasio gini atau ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia pada September 2016 sebesar 0,394. Angka ini turun 0,003 poin dibanding capaiannya pada Maret 2016 dengan nilai 0,397. Meski mengalami penurunan, tetapi angka ketimpangan pengeluaran di perkotaan masih jauh lebih tinggi dari pedesaan.

Rasio gini di perkotaan tercatat sebesar 0,409, sementara di perdesaan tercatat hanya 0,316. Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan, pemerintah sebetulnya mengemban beban cukup berat untuk bisa menekan rasio gini nasional, di desa atau kota. Apalagi, menurutnya, ketimpangan pengeluaran menjadi salah satu pemicu terbentuknya kelompok radikalisme. Meski bukan satu-satunya faktor utama, tetapi Suhariyanto menilai, masih tersebarnya kemiskinan menjadi salah satu penyebab sikap radikal.

"Pasti ada kaitannya. Radikalisme, terorisme ini hanya detailnya. Namun akarnya kan banyak sekali. Mereka (kelompok radikal) merasa bukan bagian dari negara ini. Merasa tersisihkan, tercerabut," kata Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Rabu (1/2).

Menurutnya, kunci pengurangan ketimpangan adalah perluasan kesempatan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah, untuk mengakses pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan akses terhadap modal usaha.

"Kalau itu bisa diturunkan artinya kita berikan equal access (akses setara) kepada masyarakat baik kota dan desa, maka itu bisa turunkan dua-duanya (ketimpangan desa-kota)," katanya.

BPS menyebutkan, ketimpangan yang menurun tipis ini disebabkan oleh pertumbuhan pengeluaran per kapita oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah mengalami perbaikan. Bila dibagi menjadi tiga kelompok ekonomi, yakni 40 persen ekonomi terbawah, 40 persen menengah, dan 20 persen tertinggi, maka kelompok ekonomi terbawah mengalami kenaikan tertinggi.

BPS mencatat, pengeluaran ekonomi terbawah tumbuh 4,56 persen, sementara kelompok menengah tumbuh 11,69 persen, dan kelompok ekonomi tertinggi hanya tumbuh 3,83 persen. "Jadi kenaikan di level bawah dan menengah lebih tinggi. Itu alasan utamanya," ujar Suhariyanto.

Alasan kedua menurunnya ketimpangan, menurut BPS, yakni adanya indikasi penguatan ekonomi untuk penduduk kelas ekonomi menengah. Data survei ekonomi nasional oleh BPS menunjukkan bahwa jumlah dan presentasi penduduk yang bekerja dengan status bekerja sendiri mengalami kenaikan. Artinya, pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) meningkat. Jumlah pekerja yang berusaha sendiri naik 4,77 persen pada Agustus 2016 lalu.

"Namun, dari waktu ke waktu, ketimpangan di kota memang selalu lebih tinggi dari desa. Karena gap lapisan penduduk di perkotaan disebut lebih tinggi dibanding di desa," kata Suhariyanto.

Baca juga: Rasio Gini Turun Tipis, Ketimpangan Perkotaan Tetap Tinggi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement