Rabu 11 Jan 2017 13:35 WIB

KIARA: Perlindungan Negara Terhadap Nelayan Masih Minim

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Bilal Ramadhan
Nelayan tidak melaut (ilustrasi)
Foto: Wordpress
Nelayan tidak melaut (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) membuat beberapa catatan terkait kebijakan pemerintah di bidang kemaritiman sepanjang 2016. Menurut catatan lembaga itu, penerapan 'Poros Maritim' yang digagas Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejauh ini masih jauh panggang dari api.

Sejumlah temuan kasus yang diperoleh KIARA menunjukkan, perlindungan negara terhadap para pekerja perikanan masih minim. "Masyarakat yang menggeluti profesi sebagai nelayan buruh bahkan rentan menjadi korban perbudakan di atas kapal," ungkap Pelaksana tugas Sekretaris Jenderal KIARA, M Arman Manila, kepada Republika.co.id, Rabu (11/1).

Menurut Pusat Data dan Informasi KIARA (2016), sebanyak 92 persen persoalan dialami oleh anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan. Hanya delapan persen persoalan yang dialami oleh ABK yang bekerja di kapal niaga.

Arman menuturkan, kehadiran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, seyogianya bisa menjadi sarana untuk menyejahterakan dan melindungi hak konstitusional masyarakat pesisir.

Janji menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang pernah disampaikan Presiden Jokowi Widodo pada pidato pelantikan Presiden 2014, harusnya dimulai dari pilar utamanya yakni nelayan. "Salah satu langkah konkretnya adalah dengan memperbaiki terlebih dahulu kehidupan masyarakat pesisir di seluruh Indonesia," ucap Arman.

Menurut dia, sudah saatnya Pemerintah Republik Indonesia mengembalikan arah gagasan Poros Maritim sesuai dengan mandat yang diberikan oleh rakyat Indonesia. Presiden Jokowi, kata Arman, harus berani mengevaluasi, bahkan menghentikan seluruh proyek pembangunan yang berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir.

"Termasuk menghentikan proyek reklamasi yang marak dilakukan para pengembang di beberapa kawasan perairan laut di Indonesia," ujarnya.

Salah seorang pekerja perikanan asal Rembang Jawa Tengah, Slamet Susilo membenarkan adanya praktik perbudakan terhadap ABK yang bekerja di kapal-kapal penangkap ikan. Menurut dia, pekerja perikanan di kapal asing kerap dipaksa bekerja bisa sampai 20 jam per hari. Mereka juga dipaksa memenuhi target penangkapan yaitu 20 ton untuk tiga bulan.

"Jika target itu tidak tercapai, kami bisa dipukuli. Kami juga dipaksa untuk memberikan agunan kepada agensi. Kalau kami kabur, agunan itu akan diambil oleh agensi," tutur Slamet.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement