REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pemerintah diminta mendorong penyaluran kredit di sektor pertanian melalui skema subsidi premi penjaminan kredit. Skema ini dinilai mampu mendorong bank-bank swasta masuk ke sektor pertanian.
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas Surabaya, Lutfi, mengatakan selama ini bank-bank swasta enggan masuk ke sektor pertanian karena khawatir kredit macet (NPL) yang tinggi karena tidak memiliki keahlian di sektor pertanian. Selain itu, klaim penjaminan sektor pertanian di Askrindo mencapai 45 persen. Artinya, gagal bayar kredit pertanian cukup tinggi.
“Maka yang harus masuk pemerintah dengan bank milik negara seperti BRI dan Bank Mandiri, serta bank daerah seperti Bank Jatim termasuk Bank UMKM,” katanya kepada wartawan seusai diskusi Penguatan Kredit Guna Pembangunan Ekonomi Bangsa di Surabaya, Rabu (28/12).
Oleh sebab itu, menurutnya dibutuhkan insentif dari Pemerintah Daerah agar menyisihkan APBD untuk menyubsidi premi penjaminan. Skema ini sudah diterapkan di salah satu daerah di India. Sehingga tidak semua premi dibebankan kepada perbankan dan pemerintah pusat.
“Tapi juga Pemda berkontribusi menanggung sebagian premi, maka dampaknya bank-bank akan mulai masuk ke dalam sektor pertanian. Kedua, Askrindo yang sekarang belum terbuka akan semakin terbuka,” jelasnya.
Lutfi menilai, saat ini menjadi waktu yang tepat bagi pemda memberikan insentif tersebut. Sebab, NPL sektor pertanian di Jatim masih sekitar 2,3 persen. Pemerintah juga dapat mendorong Askrindo untuk memberikan penjaminan yang lebih bagus.
Terkait porsi subsidi premi, menurut Lutfi tidak ada rumusan baku. Sebab, perbankan tidak melihat seberapa besar subsidi premi melainkan perhatian Pemda terhadap nasib pertanian. “Pemda katakanlah mau nanggung 1 persen premi itu luar biasa, yang penting jaminan dulu bukan masalah besar kecilnya premi,” ucapnya.
Skema tersebut, lanjutnya, telah digodok lama di pemerintah pusat. Namun, masih maju-mundur saat akan dibuat peraturan. Skema ini dinilai efektif untuk diterapkan di Jatim mengingat potensi lahan pertanian di Jatim yang cukup besar. Terlebih, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Jatim masih sekitar 13 persen. Jika hanya mengandalkan dana pemerintah pusat, sifatnya sangat terbatas dan diberikan merata ke seluruh Indonesia.
Di samping itu, untuk meningkatkan ekspor Jatim, ia meminta Bank Jatim dan Bank UMKM memberikan kredit di sektor pengolahan. Sebab, selama ini ekspor antar daerah di sektor pertanian masih berbentuk komoditas yang belum diolah. Sementara bank-bank swasta di Jatim sebanyak 40 persen kreditnya justru disalurkan ke sektor perdagangan. Padahal, sektor perdagangan bersumber dari sektor pengolahan.
“Kalau perbankan tidak mau masuk ke sektor pertanian, dalam jangka panjang kita akan mengalami problem NPL yang tinggi. Sekarang NPL yang tinggi bukan sektor pertanian tapi sektor pengolahan yang sampai 4 persen, sedangkan NPL sektor perdagangan 3 persen. Ini yang harus diperbaiki,” ujar Lutfi.