REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keinginan Presiden Joko Widodo untuk menekan harga daging sapi pada harga Rp 80 ribu per kilogram (kg) diakui Anggota Komisi IV DPR RI Firman Soebagyo sulit terlaksana. Sebab, harga komoditas tersebut bukan ditentukan oleh pemerintah.
"Yang mengendalikan pedagang dan importir," ujarnya kepada Republika, Rabu (28/12).
Ia mengatakan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian perlu mengajak pihak swasta, dalam hal ini pelaku usaha dan importir untuk merumuskan harga daging yang tidak memberatkan konsumen namun tetap menguntungkan bagi mereka. Misalnya, jika telah ditetapkan harga batas atas dan bawah untuk daging sapi, maka perlu diimbangi dengan sanksi yang tegas. "Biar mereka bermain di kisaran itu saja," ujar dia.
Selain itu, tingginya biaya distribusi juga menjadi penyebab sulitnya daging sapi turun di bawah Rp 100 ribu. Menurutnya, kebutuhan daging nasional banyak diserap provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur meski dalam jumlah sedikit. Namun, posisi feedloter berada jauh di Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Ya harganya lebih mahal karena distribusinya mahal. Makanya mata rantai yang mau dipangkas itu bagaimana," katanya. Saat ini harga daging sapi masih berada di kisaran Rp 120 ribu hingga Rp 150 ribu per kg.
Menurutnya, kenaikan harga daging sapi dan komoditas lain yang kerap terjadi pada perayaan hari besar keagamaan dipicu meningkatnya kebutuhan. Selain itu, belum adanya pemetaan kebutuhan daging nasional yang jelas membuat sentra daging, terutama yang terkait dengan suplaier masih dimainkan mafia importir dan pedagang besar. "Ini momen mereka mencari keuntungan sebesar-besarnya," kata politikus Golkar tersebut.