Jumat 16 Dec 2016 00:20 WIB

Alarm Di Balik Surplus Neraca Perdagangan 11 Bulan Beruntun

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: M.Iqbal
Petugas melakukan pemuatan gerbong kereta api ke dalam kapal saat ekspor perdana ke Bangladesh di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (31/3).  (Antara/Zabur Karuru)
Petugas melakukan pemuatan gerbong kereta api ke dalam kapal saat ekspor perdana ke Bangladesh di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (31/3). (Antara/Zabur Karuru)

JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan November 2016 mengalami surplus 837,8 juta dolar AS. Perinciannya nilai ekspor mencapai 13,49 miliar dolar AS, sementara nilai impor sebesar 12,65 miliar dolar AS.

 

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyambut baik surplus neraca perdagangan November 2016. Sebab, catatan itu memperpanjang torehan surplus yang dibukukan sejak Januari lalu.

 

Menurut dia, surplus yang selalu dibukukan, menjadi bukti neraca perdagangan Indonesia berada di jalur yang tepat. Pencapaian ini memperlihatkan Indonesia masih mampu bertahan di tengah goncangan perekonomian global.

 

Walaupun, kata Enggartiasto, berdasarkan hitungan tahun, surplus 2016 belum bisa menyalip perolehan 2015. “Memang perekonomian global masih berpengaruh. Tapi kan secara month to month(mom) kita terus naik. Ini bagus buat kita,” ujarnya di Jakarta, kemarin.

 

Berdasarkan data BPS, surplus Januari-November 2016 mencapai 7,794 miliar dolar AS. Sementara surplus pada kurun waktu sama pada tahun lalu sebesar 7,831 miliar dolar AS.

Enggartiasto menyebutkan pada tahun depan pemerintah telah menyiapkan sejumlah skema baru agar neraca perdagangan terus melonjak hingga melebihi pencapaian 2016. Tahun ini, pemerintah telah melakukan komunikasi dan mencari pasar nontradisional atau pasar baru sebagai tempat mengekspor barang-barang produksi dalam negeri.

 

Kemudian di sektor perindustrian, pemerintah terus menggenjot perbaikan penambahan nilai dari suatu produk. Harapannya, lanjut Enggartiasto, ketika produk yang dihasilkan memiliki nilai tambah lebih, maka harga yang didapatkan juga akan lebih tinggi dibandingkan ketika menjual produk mentah.

 

“Kita juga menjaga agar tidak impor dengan memakai barang yang bisa diproduksi di dalam negeri. Ini sangat bermanfaat,” kata politikus Partai Nasdem ini. Meskipun demikian, Enggartiasto belum bisa mengonfirmasi perihal potensi surplus perdagangan tahun depan.

 

Sebab, Kementerian Perdagangan masih menunggu refleksi akhir tahun dari setiap kementerian/lembaga (K/L).

 

Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Fithra Faisal menjelaskan dengan rilis terbaru dari BPS, maka bisa dilihat sepanjang 2016 neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus. Akan tetapi, jika dilihat secara kumulatif dari Januari hingga November dibandingkan dengan data kumulatif Januari-November 2015, ekspor malah mengalami penurunan.

"Adapun kenapa tren surplus masih terjaga adalah karena pertumbuhan impor secara kumulatif Januari-November tahun ini dibandingkan tahun lalu justru turun lebih besar dibandingkan ekspor," ujarnya kepada Republika, Kamis (15/12).

Secara umum, lanjut Fithra, pertumbuhan ekspor barang-barang manufaktur masih berada di zona merah. Artinya mayoritas produk ekspor Indonesia belum benar-benar beranjak dari produk minim nilai tambah.

Sementara dari sisi impor, impor golongan bahan baku/penolong dan barang modal selama Januari–November 2016 malah turun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan mengingat pentingnya impor barang barang tersebut untuk meningkatkan produksi dan industrialisasi.

"Sehingga kedepan, saya mengkhawatirkan proses deindustrialisasi masih akan terjadi secara persisten," kata Fithra. Adapun hal positif yang bisa dilihat adalah meningkatnya tren perdagangan di negara-negara partner tradisional.

Ini menyiratkan adanya sedikit perbaikan pada tren ekonomi global. "Meskipun ke depan kita harus lebih membuka diri untuk partner partner nontradisional di wilayah Afrika, Amerika Latin, dan Eropa Timur. Idenya adalah kita menyebar risiko dengan rentang portfolio yang lebar," ujar Fithra.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement