Rabu 30 Nov 2016 05:12 WIB

Bayang-Bayang Donald Trump pada Pertemuan ‘Bersejarah’ OPEC

Rep: Elba Damhuri/ Red: Budi Raharjo
Logo OPEC
Logo OPEC

REPUBLIKA.CO.ID, Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) tidak hanya menimbulkan keterkejutan dunia. Naik tahtanya raja properti AS ini pun memunculkan terlalu banyak pertanyaan daripada jawaban yang diharapkan.

Pertanyaan-pertanyaan yang menyebabkan ketidakpastian itu kini membayangi pertemuan Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) di Wina, Austria, Rabu (30/10). Rencana pemotongan produksi minyak mentah seharusnya menjadi isu besar pada pertemuan OPEC ini. Arab Saudi mendorong negara-negara OPEC lainnya menurunkan produksi minyak 1 juta barel per hari (bph) agar harga minyak terkerek ke level 50-60 dolar AS.

 

Sejumlah kalangan menilai pembicaraan tentang langkah Donald Trump akan lebih mengemuka, terutama terkait kebijakan energi Trump. Kebijakan energi Trump fokus pada upaya menaikkan produksi minyak dalam negeri AS. Sejumlah aturan ketat yang melarang eksplorasi, eksploitasi, dan produksi minyak akan dicabut.

 

Pengeboran minyak di tanah-tanah yang selama dilarang akan diizinkan. Trump akan membiarkan eksplorasi migas di Laut Atlantik, Laut Arktik, Alaska, hingga Teluk Meksiko. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran OPEC terutama Saudi yang berharap terjadinya rebound harga minyak dunia.

 

"Jelas mereka sangat khawatir atas masalah ini," kata Scott Roberts, kepala Invesco Fixed Income seperti dikutip Reuters, Selasa (29/11).

 

Scott mengungkapkan kekhawatiran terbesar Saudi terkait dengan kemungkinan Trump menaikkan produksi minyak AS hingga 500 ribu barel per hari (bph). Dengan begitu, produksi minyak AS bisa menyentuh 13 juta bph dari saat ini antara 11 juta dan 12 juta bph. Jika ini terjadi --dengan ditambah gagalnya kesepakatan OPEC menurunkan produksi minyak-- maka harga minyak dunia bisa jatuh lebih dalam hingga level 30-an dolar AS.

 

AS telah mengganti posisi Saudi sebagai produsen minyak terbesar di dunia sejak setahun lalu meski sempat disalip lagi pada awal tahun ini. Dengan rencana Trump meninggikan produksi minyak itu tidak hanya memperkuat posisi AS sebagai pemroduksi terbesar minyak dunia tapi juga menghambat upaya Saudi untuk menaikkan harga minyak.

 

Setelah sempat naik pada pekan lalu hingga Senin kemarin, harga minyak dunia pada sehari menjelang pertemuan OPEC kembali turun. Ketidakjelasan atas rencana OPEC memotong produksi minyak menjadi alasan utama penurunan harga tersebut. Jika OPEC sepakat menurunkan produksi minyak maka itu akan menjadi sejarah baru, setelah delapan tahun produksi minyak OPEC tidak pernah diturunkan.

 

Rusia menyambut baik rencana itu dan berjanji akan ikut memangkas produksi minyak mereka sebesar 500 ribu barel. Saat ini produksi minyak anggota OPEC mencapai 33,8 juta bph dan diharapkan segera turun menjadi 32,5 juta bph hingga 33 juta bph.

 

Rob Thummel, manager portofolio pada Tortoise Capital, mengatakan Saudi sudah kehilangan kesabaran terhadap harga minyak yang masih di bawah 50 dolar AS ini. Saudi dan beberapa negara OPEC berharap harga minyak segera merangkak lagi ke level 50-60 dolar AS per barel.

 

Michael Cohen, analis energi di Barclays, setuju terpilihnya Trump membawa OPEC masuk ke dalam jurang yang berat. Apalagi Trump juga akan mengkaji ulang kesepakatan perjanjian nuklir Iran dan mendorong independensi AS terhadap minyak mentah. “Ini yang menjadi dilema OPEC selain ketidaksepakatan di internal mereka,” kata dia.

 

Iran dan Irak termasuk negara anggota OPEC yang menolak rencana pemotongan produksi minyak. Irak beralasan masih butuh dana besar untuk memerangi ISIS, sementara Iran ingin mengangkat produksi minyak mereka di atas 4 juta bph. Belakangan, kedua negara ini tidak keberatan dengan rencana OPEC memotong produksi minyak. Jika begitu, kini tinggal bayangan Trump yang menyelimuti OPEC.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement