Selasa 29 Nov 2016 16:07 WIB

Sri Mulyani Bicara Soal SBY dan Jokowi

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Angga Indrawan
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi pembicara dalam diskusi Ethical Governance: The Soul of Sustainability di Jakarta, Selasa (29/11).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi pembicara dalam diskusi Ethical Governance: The Soul of Sustainability di Jakarta, Selasa (29/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ada yang unik dalam acara Risk and Governance Summit yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Djakarta Theatre, Selasa (29/11). Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat ditanya pandangannya atas gaya kepemimpinan Presiden Jokowi dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sri memang sempat menjabat posisi yang sama di bawah kepemimpinan SBY selama 5 tahun dari 2005 hingga 2010. Setelah sempat menduduki posisi Direktur Pelaksana Bank Dunia, baru tahun 2016 ini ia memilih pulang kampung menjadi Menteri Keuangan.

Sri berpandangan, baik SBY dan Jokowi memiliki kepribadian dan cara memimpin yang berbeda. Namun, satu hal yang ia tekankan bahwa keduanya bertitel orang nomor satu di Indonesia sebagai pilihan sebagian besar masyarakat. Sejak ditawari menjadi menteri keuangan, baik di era SBY atau Jokowi, Sri mengaku niatnya adalah untuk membantu orang pilihan rakyat.

"SBY tentu berbeda dengan Jokowi. Saya berkomitmen menjadi pembantu presiden. Itu adalah kontrak sosial. Jadi orang yang saya bantu adalah pilihan rakyat. Bahkan yang tadinya tidak memilih pun, pada akhirnya akan menggantungkan harapannya kepada Presiden," kata Sri, Selasa (29/11).

Saat kembali ditanya soal era mana di antara SBY dan Jokowi yang lebih banyak godaannya, Sri menegaskan bahwa dirinya sejak awal selalu bersumpah untuk tidak menerima apapun pemberian yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hal ini, menurutnya, membuat banyak pihak pun sungkan menawarinya "jatah".  "Saya sih nggak pernah nerima karena mungkin mereka tau (saya) nggak mungkin nerima," ujar dia.

Bahkan, ia mengungkapkan pengalamannya ketika ada satu oknum gubernur yang berusaha memberikan porsi uang dalam bentuk dolar AS dalam jumlah tertentu. Langkah gubernur tersebut, lanjutnya, dalam rangka membujuk Sri untuk menyalurkan dana bagi hasil (DBH) ke daerahnya. Terlebih saat itu harga minyak yang anjlok membuat penyaluran DBH tertunda. "Lalu dia kasih amplop isinya dolar sih. Saya katakan, 'Pak saya anggap ini keteledoran pertama ya, kalau nggak saya akan sampaikan ini ke KPK'," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement