REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Turunnya harga batu bara tidak begitu menjadi masalah bagi Adaro. Presiden Direktur PT Adaro Energy, Garibaldi Thohir mengatakan pihaknya tidak menjadikan kenaikan harga batubara satu-satunya pegangan dalam menjalankan bisnis. Meski terkenal bergerak di sektor tambang, Adaro, kata dia, memiliki tiga fokus usaha.
Pertama, kata dia, usaha pertambangan itu sendiri. Berikutnya dalam bidang pendistribusian hasil tambang alias logistik. Terakhir di sektor pelayanan dan ketenagalistrikan.
"Adaro sudah menerapkan tiga engine strategi, dan itu saling berhubungan. Mining, logistics, services and power," kata tokoh yang akrab disapa Boy itu saat ditemui di Adaro Institute gedung Tempo Scan, Jakarta, Senin (7/11).
Pada November 2016, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan harga batubara acuan (HBA), sebesar 84,89 dolar AS per ton. Jumlah tersebut naik 23 persen jika dibandingkan HBA Oktober, yakni sebesar 69,07 per ton.
Kenaikan itu, menurut Boy bukan sesuatu yang sustainable alias berkelanjutan. Tergantung ketersediaan produksi dan permintaan pasar.
"Kebijakan Cina mengurangi jam kerja dan menutup beberapa perusahaan kecil, menyebabkan supply berkurang, itu menyebabkan harga fluktuasi," kata dia.
Oleh karenanya, kenaikan HBA tidak memengaruhi sistem yang sudah berjalan di Adaro dalam beberapa tahun terakhir. Agar semua sektor sehat, kata dia, efisiensi menjadi inti. Target produksi Adaro pun tidak berubah meski harga batubara naik, yakni sebesar 52 hingga 54 juta ton (Mt) pada 2016. Sejauh ini yang suda terealisasi sekitar 39,3 Mt.