Ahad 06 Nov 2016 17:57 WIB

Pengembangan Energi Panas Bumi di Indonesia Lambat, Ini Penyebabnya

Rep: Frederikus Bata/ Red: Nidia Zuraya
Energi panas bumi. Ilustrasi.
Foto: greenfieldenergyco.com
Energi panas bumi. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengembangan pembangkit listrik panas bumi di Indonesia berjalan lambat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan potensi panas bumi di tanah air mencapai 29 gigawatt, namun pemanfaatannya baru lima persen atau sekitar lima gigawatt.

Direktur Panas Bumi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Yunus Saifulhak menjelaskan penyebab keterlambatan pengembangan pembangkit listrik panas bumi di Indonesia. Menurutnya, penyebab keterlambatan tersebut pertama terkait penentuan harga dalam proyek pengembangan. 

Sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2014, harga didasarkan atas wilayah. Hal itu, kata dia, tentu saja berhubungan dengan infrastruktur dan keekonomian di masing-masing tempat.

"Oleh karena itu, dalam posisi sekarang, tender tidak hanya diikuti Pertamina, tapi juga pemain internasional," ujar Yunus dalam diskusi, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Ahad (6/11).

Berikutnya, lanjut Yunus, soal pengadaan tanah. Ia mencontohkan bagaimana proses pengembangan memakai hutan lindung. Mekanisme yang dipakai, kata dia, dengan sitem pinjam pakai kepada Kementerian Kehutanan. Kemudian di hoten konservasi, menggunakan mekanisme ijin dasar lingkungan.

"Tentunya ini tidak mudah dalam prosesnya, perlu dilakukan percepatan, deregulasi, debirokratisasi, saya kira ini tantangan ke depan untuk bisa diselesaikan," ujar Yunus.

Ketiga, jelas Yunus, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) seperti panas bumi memiliki harga keekonomian tersendiri. PLN sebagai pembeli utama, kata dia selalu merujuk pada biaya pokok penyediaan. Dalam BPP, ada percampuran  energi secara keseluruhan, dimana kebanyakan dipenuhi oleh batubara.

"PLN ketika berbisnis dengan geothermal, harganya relatif lebih tinggi dibanding batu bara, mereka berhitung soal itu," tutur Yunus.

Keempat, lanjut dia, resistensi masyarakat. Ada dua hal menurut Yunus terkait resistensi masyarakat. Satu mengenai pengetahuan masyarakat akan geothermal. Kedua isu politik, menurut dia terkadang menggangu. 

"ketika pilkada yang incumbent mendukung (pengembangan EBT), yang tidak incumbent pastitidak mendulkung, ketika yang tidak incumbent memberikan informasi negatif ke masyarakat, ini sulit diperbaiki, mestinya isu politik tidak dikaitkan," ujar Yunus.

Potensi panas bumi di Indonesia sebesar 40 persen dari cadangan dunia. Realisasi pemanfaatannya sekitar 5 persen dari target pengembangan nasional. Sejak 1982, Indonesia baru membangun listrik dari panas bumi sebesar 1.500 megawatt. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement