REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga tahun ini akan lebih dari raihan pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua sebelumnya. Artinya, pertumbuhan kuartal ini akan lebih rendah dari 5,18 persen yang merupakan capaian kuartal sebelumnya. Dengan kondisi ini, pemerintah akan menggenjot penerimaan pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa salah satu kebijakan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi adalah dengan menjaga penerimaan perpajakan yang menjadi salah satu sumber penerimaan negara terbesar. Dengan adanya penerimaan negara yang terjaga, artinya negara bisa membelanjakan anggaran untuk kegiatan produktif.
Nantinya, pemerintah akan melakukan ekstensifikasi penerimaan perpajakan yang bisa menambah pemasukan negara. Sri menjelaskan bahwa ekstensifikasi ini berupa penyisiran potensi perpajakan dari kegiatan ekonomi yang selama ini belum membayar pajak.
"Apa potensi perpajakan yang selama ini seharusnya ada kegiatan ekonominya dan belum membayar pajak. Tapi bukan istilahnya orang mengatakan berburu di kebun binatang. Artinya yang sudah membayar pajak dikejar-kejar dan dimintakan untuk membayar lebih. Itu akan menciptakan sinyal yang sama sekali tidak produktif ," ujar Sri dalam paparan dua tahun kinerja Jokowi-JK di Kantor Staf Presiden, Selasa (25/10).
Salah satu yang akan dikejar adalah penerimaan pajak dari program amnesti pajak yang sudah berlangsung sejak Juli lalu. Sri menilai, kontribusi penerimaan dari amnesti pajak hingga saat ini belum terlalu signifikan. Karenanya pemerintah akan fokus untuk lakukan sosialisasi dalam periode kedua amnesti pajak. Meski akan menggenjot penerimaan pajak, Sri menegaskan bahwa pemerintah tetap fokus untuk meningkatkan penerimaan pajak rutin.
"Tax amnesty sebetulnya menggambarkan banyak sekali aktifitas ekonomi yang selama ini tidak dilaporkan bahkan tidak membayar pajak. Termasuk sebetulnya jumlah NPWP baru yang sekarang ini mucnul dan mungkin banyak sekali yang bisa kita gali," katanya.
Sri mengungkapkan, sejumlah profesi memang memiliki banyak penghasilan yang seharusnya bisa dilaporkan kepada Kantor Pajak. Dari data yang dimiliki Dirjen Pajak (DJP), profesi dokter berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK) atau sumber lain mencapai 106.496, tapi dari sumber yang disinkronkan terdapat 23.310 dokter. Namun, dokter yang ikut amnesti pajak hanya 2.172 orang.
Untuk profesi konsultan yang datanya masuk di DJP mencapai 3.333, tapi yang ikut TA hanya 1.408. Profesi pengacara dari 1.968, baru 105 orang yang ikut amnesti pajak. Sementara, akuntan yang terdapat mencapai 10.218 dan terekap di DJP mencapai 752, baru 105 orang mendeklarasikan hartanya.
Selain di sektor pekerja profesi, Kemenkeu juga akan mencari data mengenai komisaris dan direksi yang duduk di kursi perusahaan di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebab, perusahaan yang berada di pemerintahan ini mencapai ratusan dan masing-masing memiliki pemasukan yang cukup besar. Dari data DJP, komisaris dan direksi yang ikut amnesti pajak baru mencapai 571 orang. Padahal, dari data yang ada jumlah ini mencapai 3.198.
Ditjen Pajak Kemenkeu juga mencatatkan penerimaan perpajakan hingga 12 Oktober 2016 mencapai Rp 820,3 triliun atau 60,5 persen dari target yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 sebesar Rp 1.355,2 triliun. Kasubdit Dampak Kebijakan Pajak DJP Romadhaniah menyebutkan, raihan ini mengalami kenaikan sebesar 3,9 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang raihannya hanya 55,7 persen dari target.