REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di kuartal ketiga akan lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi kuartal kedua sebesar 5,18 persen. Namun, belanja pemerintah diyakini masih bisa menopang pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen.
Kondisi ini merupakan imbas dari pelemahan ekonomi global dan perlambatan perdagangan internasional yang ikut berimbas pada industri dalam negeri. Dari sisi internal, kata Sri, target pemerintah untuk mengumpulkan pajak secara intensif dan pengumuman adanya pemangkasan anggaran ternyata memberi kontribusi untuk menekan pertumbuhan ekonomi.
Tak hanya itu, Otoritas Jasa Keuangan juga sempat merilis adanya perlambatan pertumbuhan kredit yang hanya bertengger di enam persen hingga delapan persen sampai akhir 2016 ini. Investasi juga disebut mengalami perlambatan pada kuartal ketiga, sementara konsumsi masyarakat masih bisa terselamatkan oleh nilai inflasi yang terjaga.
Kondisi di atas, membuat pemerintah menggantungkan pada peningkatan belanja pemerintah sampai akhir tahun. Artinya, dengan adanya serapan belanja pemerintah yang meningkat, maka pembangunan atas proyek strategis bisa tetap berjalan dan diharapkan bisa menaikkan pertumbuhan ekonomi. Sri menyebutkan, pemerintah masih berpegang pada target pertumbuhan ekonomi sebesar lima persen. Angka ini ia yakini lebih realistis dari pertumbuhan yang tercatat pada APBNP 2016 sebesar 5,2 persen.
"Kemudian ekspor, permintaan dari eskpor seluruh dunia masih melemah di kuartal ketiga. Jadi kalau kita lihat dari komposisi pertumbuhan, sudah bisa diprediksi kuartal ketiga ini lebih lebih rendah dari kuartal kedua. Namun kita masih bisa berharap kuartal keempat akan rebound karena percepayan belanja pemerintah dan seasonal, kuartal ketiga akan ada akselerasi belanja, termasuk capex. Ini yang akan netralisir pelemahan kuartal ketiga, overall kami 5,0 (persen)," kata Sri, Selasa (25/10).
Sri mengatakan, adanya fondasi ekonomi yang baik bisa menekan tingkat bunga atau yield atas utang negara. Ia mengambil contoh, dibanding dua tahun lalu, di mana saat ini pondasi ekonomi dan APBN diyakini menguat, penurunan yield bisa menurunkan biaya utang hingga pada tahun ini sebesar Rp 8 triliun.
"Biaya bunga yang bisa kita hemat kalau kebijakan APBN menjadi lebih solid, lebih kredibel dan pondasi ekonomi lebih kuat, karena persepsi risiko menjadi lebih turun. Dan saya yakin Indonesia seharusnya tingkat yang lebih rendah lagi dari sisi beban bunga utang," ujarnya.
Baca juga: Pertumbuhan Indonesia Tinggal Bergantung dari 2 Sumber