REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah untuk jor-joran menerbitkan surat utang negara atau obligasi baik dalam bentuk konvensional atau syariah dinilai bisa hambat penurunan suku bunga bank.
Pengamat ekonomi INDEF Eko Listiyanto menilai, target pemerintah untuk menggulirkan pertumbuhan kredit dengan menurunkan suku bunga ini tampaknya ikut terdampak dari kebijakan pemerintah yang gencar menerbitkan surat utang atau obligasi. Penerbitan obligasi ini, menurut Eko, memang bertujuan untuk menutup defisit anggaran yang cukup lebar tahun ini. Namun, imbasnya bisa membuat penurunan suku bunga ke depan akan sulit dilakukan lagi.
Eko menilai, pasar keuangan Indonesia sebetulnya cukup dangkal. Dengan likuiditas yang tak seberapa ini, ketika ditawarkan obligasi negara maka pemilik modal akan lebih tertarik membeli surat utang tersebut sehingga semakin menekan likuiditas perbankan. Ujungnya, perbankan cenderung memasang suku bunga deposito yang lebih menarik.
"Jadi persoalannya di situ. Jadi semakin agresif pemerintah menerbitkan utangan, semakin juga suku bunga itu nggak akan turun," katanya.
Sementara Menteri Koordinatir Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai bahwa kebijakan Bank Indonesia pekan ini untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7-day RR Rate) sebesar 25 bps dari 5,00 persen menjadi 4,75 persen bisa mendorong penurunan biaya dana perbankan atau cost of fund termasuk penurunan buka kredit. Hanya saja, Darmin menilai bahwa hal ini tidak akan terjadi dalam waktu dekat namun secara bertahap.
"Artinya itu kan akan mendorong cost of fund. Sehingga kami berharap suku bunga turun. Walaupun nggak otomatis selalu, tapi harus diusahakan. Kerja sama dan yakinkan OJK lah supaya dengan penurunan itu semestinya terealisasi pada suku bunga deposito dulu, tabungan, baru masuk ke kredit," ujar Darmin.
Di sisi lain, Darmin mengatakan bahwa penurunan suku bunga acuan juga akan mendorong penurunan suku bunga surat utang negara atau obligasi. Bank Indonesia meyakini bahwa pelonggaran kebijakan moneter tersebut sejalan dengan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi, khususnya inflasi 2016 yang diperkirakan mendekati batas bawah kisaran sasaran, defisit transaksi berjalan yang lebih baik dari perkiraan, surplus neraca pembayaran yang lebih besar, dan nilai tukar yang relatif stabil.