REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VII DPR RI Rofi Munawar menilai, dalam dua tahun Pemerintahan Jokowi-JK hari ini, capaian di sektor ESDM belum mencapai progres yang memuaskan. Hal itu dapat dilihat dari tingginya cost recovery, turunnya tren produksi lifting minyak, perpanjangan relaksasi mineral, kontroversi proses reshuffle menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan penurunan harga gas yang terkesan dipaksakan.
"Dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, kita belum tahu arah pasti pengelolaan energi nasional mau dibawa kemana. Blue print-nya belum terlihat dan program-program monumental yang dicanangkan belum nampak progress-nya," ucap Rofi di Jakarta, Kamis (20/10).
Ia mencontohkan, proyek 35 ribu MW dalam rangka mengejar target elektrifikasi nasional, masih banyak yang terkendala dan mangkrak. Rofi menjelaskan, terkait program 35 ribu MW, sebanyak 34 pembangunan pembangkit mengalami mangkrak, 24 proyek dalam kondisi terlambat, dan 10 proyek yang belum masuk dalam proses Commercial Operation Date (COD).
Perkembangan pembangunan program 35 ribu MW hingga September 2016 hanya mencapai 164 MW COD atau sekitar satu persen. Sedangkan yang melakukan tahap konstruksi sebesar 8.687 MW dan yang dalam kondisi kontrak namun belum dibangun sebesar 8.641 MW, sisanya masih dalam tahap pengadaan atau penawaran sebesar 1.481 MW.
Selain itu, Rofi juga memberikan catatan khusus terkait pengelolaan energi di sektor mineral dan batu bara. Ia memandang, komitmen Pemerintah untuk melaksanakan amanat UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara terkait renegosiasi kontrak sangat rendah. Padahal, di dalamnya ada kewajiban yang harus ditunaikan oleh pemegang Kontrak Karya (KK) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk membangun smelter paling lambat per 1 Januari 2017 berbekal beleid Permen ESDM Nomor 1 tahun 2014.
Sehingga, ada waktu yang terbuang hampir delapan tahun terkait penerapan nilai tambah ini (smelter), progresnya jauh dari apa yang diharapkan. ''Ironisnya Pemerintah akan memberlakukan kembali relaksasi ekspor mineral kepada perusahaan yang belum merampungkan fasilitas pemurniannya," ujar Rofi.
Adapun catatan lainnya, tentang blok migas yang akan habis kontrak di tahun 2018 - 2019. Pemerintah belum ambil keputusan apa diserahkan ke perusahaan lokal atau diperpanjang seperti Blok Migas yang akan habis di tahun 2018 SES (CNOOC), Tuban, dan Sanga-Sanga (PetroChina).
"Ada baiknya mulai memikirkan strategi perpanjangan untuk pengelolaan migas yang berkelanjutan dan mendukung kemandirian energi nasional. Ada baiknya pengelolaan berbasis potensi dalam negeri,'' ujarnya.
Proses kontroversial reshuffle kabinet yang terjadi terhadap Menteri ESDM juga memberikan kontribusi dalam lambatnya pengambilan kebijakan di sektor energi. Menurut Rofi, hampir dua bulan waktu sia-sia percuma untuk melakukan tata kelola dan perbaikan.
Selain itu, program reorientasi energi nasional berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) jauh dari apa yang ditargetkan, padahal sudah didukung dengan regulasi yang memadai dan komitmen energi bersih. Oleh karena itu, perlu ada keseriusan pemerintah mengelola sektor energi yang tidak hanya berbasis pada fosil, selain harga yang saat ini tidak kompetitif dan juga sifatnya terbatas (nonrenewable) untuk dijadikan tumpuan energi dimasa yang akan datang. ''Program pengembangan EBT tidak bisa ditawar-tawar lagi harus segera dan terencana,'' kata Rofi.