Ahad 02 Oct 2016 11:06 WIB

'Petani Garam Menangis, tak Bisa Produksi'

Rep: Lilis Handayani/ Red: Nur Aini
Petani Garam (ilustrasi)
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Petani Garam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,CIREBON -- Fenomena La Nina yang terjadi sepanjang musim kemarau tahun ini, membuat produksi garam rakyat di Jabar, anjlok. Proses pengolahan lahan tambak garam yang dilakukan petani selalu gagal akibat hujan yang selalu turun.

 

‘’Petani garam menangis. Mereka tidak bisa memproduksi garam,’’ kata Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia (Apgasi) Jabar, M Taufik, kepada Republika, Sabtu (1/10).

Taufik menyebutkan, produksi garam rakyat di Jabar dalam kondisi normal biasanya mencapai sekitar 400 ribu ton per tahun. Namun akibat kondisi tersebut, produksi garam tersebut hanya sekitar dua persen dari total produksi per tahun.

 

Taufik menjelaskan, para petani di Jabar, terutama di Kabupaten Cirebon dan Indramayu, sudah berusaha melakukan pengolahan garam. Hal itu dilakukan saat cuaca sedikit membaik.

 

Untuk petani garam di Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, sempat melakukan panen perdana garam. Namun, panen itu ternyata merupakan panen pertama sekaligus terakhir karena hujan kembali terus mengguyur lahan tambak mereka.

 

‘’Panen itupun hanya sedikit. Paling hanya sepuluh persen dari kondisi normalnya,’’ terang Taufik.

 

Berbeda dengan petani garam di Desa Santing yang sedikit beruntung, para petani garam di kecamatan lainnya di Kabupaten Indramayu maupun kecamatan-kecamatan yang menjadi sentra garam di Kabupaten Cirebon, malah tidak bisa memetik panen sedikitpun. Pengolahan garam yang mereka lakukan hancur akibat hujan yang terus turun. ‘’Sangat mengecewakan,’’ tutur Taufik.

 

Dalam kondisi normal, masa pengolahan tambak garam semestinya sudah mulai dilakukan sejak Juni. Pada Agustus, lahan tambak seharusnya sudah mulai bisa produksi.

 

Namun, hujan yang turun pada musim kemarau tahun ini membuat pengolahan lahan garam menjadi terhambat. Air hujan membuat tingkat salinitas (keasinan atau kadar garam terlarut air) menjadi rendah sehingga pembentukan kristalisasi garam menjadi sulit.

 

‘’Sekarang kita hanya bisa mengandalkan garam dari Jawa Tengah, tapi itu juga sedikit. Selebihnya, ya serahkan ke pemerintah,’’ tutur Taufik.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement