REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) menginvestigasi Standard Chartered PLC atas dugaan penyuapan untuk memenangkan kontrak pembangkit listrik di Indonesia. Internal audit yang dilakukan terhadap Maxpower Group Pte.Ltd., kontraktor pembangunan pembangkit listrik di Asia Tenggara, menemukan adanya bukti kemungkinan praktik suap dan pelanggaran hukum lainnya.
Standard Charterd membeli saham Maxpower pada 2012 lalu dan tahun lalu menguasai saham mayoritas setelah menyuntikkan dana tunai sebesar 60 juta dolar AS, sehingga mencapai total investasi sebesar 143 juta dolar AS. Sejumlah investor ikut mendanai aksi korporasi yang dilakukan Standard Chartered.
Salinan dokumen hasil audit yang diperoleh The Wall Street Journal, Selasa (27/9) mengungkapkan eksekutif puncak Maxpower bekerja di Standard Charterd hingga tahun lalu, dan Standard Chartered menempatkan tiga wakilnya di manajemen Maxpower. Sumber Wall Street Journal menyebutkan, penyelidikan Departemen Kehakiman AS terarah pada dugaan adanya pelanggaran undang-undang antikorupsi ketika eksekutif Maxpower ikut memfasilitasi penyuapan untuk memenangkan kontrak pembangkit listrik dan melicinkan bisnisnya dengan pejabat energi di Indonesia.
Kejaksaan AS saat ini tengah mencari bukti-bukti pembiaran yang dilakukan Standard Chartered atas kegiatan yang melanggar hukum itu. Investigasi dilakukan untuk mendapatkan bukti-bukti pelanggaran bahwa Standard Chartered dan eksekutifnya, Bill Winters, yang tahun lalu dipekerjakan untuk membersihkan neraca, tata kelola dan budaya bank.
Hasil audit internal Maxpower tahun lalu mengindikasikan adanya pembayaran dimuka secara tunai dengan nilai lebih dari 750 ribu dolar AS pada 2014 dan awal 2015. Pada Desember 2015, pengacara Sidley Austin LLP yang dikontrak untuk mempelajari hasil audit, menemukan apa yang mereka gambarkan sebagai indikasi kuat bahwa pegawai Maxpower melakukan pembayaran secara tidak wajar kepada pejeabat pemerintah Indonesia dan sejumlah pihak lain, setidaknya sejak 2012 hingga akhir 2015.
Menurut hasil kajian Sidley Austin, pembayaran itu sebagian besar untuk mendapatkan kontrak pembangkit listrik di Indonesia. Ditemukan bahwa sejumlah pembayaran itu didanai dengan pembayaran tunai dimuka atas permintaan tiga pendiri Maxpower dan dua pegawainya.