Rabu 31 Aug 2016 20:04 WIB

Pengusaha Diimbau Manfaatkan Arbitrase daripada Pengadilan Negara

Rep: melisa riska putri/ Red: Budi Raharjo
Palu Hakim (Ilustrasi)
Palu Hakim (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) mengimbau para pengusaha untuk memanfaatkan badan arbitrase dalam penyelesaian sengketa antara pelaku dan badan usaha. Arbitrase merupakan suatu cara untuk menyelesaikan sengketa bisnis di luar pengadilan negara.

Ketua Bani Muhammad Husseyn Umar menjelaskan, arbitrase adalah jalan penengah dalam sebuah sengketa. Hal ini membuat pengusaha tidak harus mendatangi pengadilan yang biasanya memakan waktu lama. "Selain prosesnya yang cepat, penyelesaian sengketa di badan arbitrase murah dan kerahasiaannya terjamin," ujarnya kepada Republika, Rabu (31/8).

Menurutnya, waktu yang singkat dan pengadilan yang tertutup dicari dan menjadi pertimbangan para pelaku usaha. Ia mengatakan, meski dalam arbitrase penyelesaian konflik berdasarkan suatu kesepakatan atau perjanjian, status hukum putusan arbitrase setara dengan pengadilan. "Mengikat dan final, beda dengan pengadilan yang bisa naik banding,” lanjut dia.

Sementara itu Arbitrer Senior BANI, Agus G Kartasasmita mengatakan proses arbitrase penyelesaian sengketa membutuhkan hingga 180 hari atau enam bulan. "Meskipun bisa diupayakan penyelesaiannya lebih cepat," kata dia.

BANI selain sebagai lembaga yang membantu proses arbitrase secara adiministratif, menyediakan tata tertib, kode etik, sarana, prosedur, hingga menyediakan para arbitrer ahli hukum yang bebas dari kepentingan apa pun, juga memberikan layanan kepada para pengusaha yang bersengketa. Agus mengatakan, BANI dibentuk pada 1977 atas inisiatif Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

BANI yang merupakan anggota dari badan arbitrase-arbitrase internasional, dalam kurun dua tahun terakhir telah menangani sedikitnya 120 kasus sengketa diantara para pelaku usaha. Berdasarkan catatan BANI sejak 2009 hingga 2013, kasus sengketa sektor konstruksi mencapai 30,8 persen, leasing mencapai 20,8 persen, perdagangan 15 persen, sektor energi 7,55 persen, sektor keuangan 6,7 persen, investasi 6,7 persen, agensi 3,8 persen, transportasi 2,5 persen, asuransi 1,7 persen dan 4,6 persen untuk lainnya.

 "Perjanjian dibuat secara equal tidak melihat yang mana yang lebih kuat. Sistem perjanjian dalam arbitrase itu landasannya harus equal," jelas Agus. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement